Sudah hampir dua jam aku terbaring di sofa ruang keluarga. Secara refleks jemari ini memijit-mijit remote control, tampilan layar besar itu terus berpindah-pindah dari satu saluran ke saluran lain. Sementara ingatanku melayang pada sisa hari kemarin yang berlangsung sangat buruk.
Ketika pulang, aku mendapati Ayah tengah menunggu sambil mencak-mencak. "Ayah sengaja pulang untuk melihat keadaanmu, tapi kamu malah ke luar entah ke mana padahal sedang dalam kondisi tak sehat!"
Kemudian sebelum pergi kembali ke kantor, ia membuatku bersumpah untuk tidak lagi pergi kemana-mana sampai dua hari setelahnya—saat jadwal berkunjung ke rumah sakit untuk memeriksakan kepala telah tiba. Sepeninggalannya, aku menghabiskan sisa hari itu dengan mengurung diri di kamar dan menangis hingga tak ada lagi air mata yang tersisa.
Pagi tadi aku terbangun dengan sebuah perasaan baru, yaitu penerimaan. Setelah dua hari penuh terus berlari dari kenyataan, terus mengharapkan keajaiban akan sesuatu yang normal, hari ini aku bangun dengan sebuah kesadaran absolut—hidup telah berubah. Atau setidaknya, kepalaku yang benar-benar bermasalah. Jujur saja, aku lebih cenderung meyakini opsi pertama.
Pertemuan dengan Netta kemarin siang menjadi pemicu timbulnya kesadaran baru. Netta memang bersikap sopan dan bisa dibilang cukup ramah—ia menawariku untuk tinggal dan saling berkenalan. Tapi aku sangat mengenalnya, terlalu mengenalnya hingga tahu bahwa ia selalu bersikap seperti itu terhadap orang asing—ramah dan mengakrabkan diri—walau seringkali hanya terpaksa, demi menjaga norma sopan santun semata. Aku cukup tahu diri untuk menolak dan secepat mungkin pergi dari rumah itu.
Rasa malu yang sangat kuat menguasaiku. Terbayang perasaan Netta saat aku—seorang gadis asing yang hanya pernah dilihatnya beberapa kali saja—tiba-tiba muncul di pintu rumahnya, masuk begitu saja ke kamar tidurnya, dan bersikap seolah telah mengenalnya seumur hidup. Maka, ketika ayah berceramah pagi tadi saat sarapan bersama, aku hanya mengangguk-angguk, menyetujui semua perkataannya. Kini hati ini sadar, sekuat apapun berupaya untuk membuat mereka percaya, aku tidak akan pernah berhasil.
Terdengar suara langkah kaki dari arah ruang cuci di balik dapur. Bi Dedeh muncul, membawa sekeranjang penuh cucian kering di satu tangan dan perangkat setrika di tangan lainnya.
"Mau dibawa kemana, Bi?" tanyaku heran.
"Bibi mau nyetrika di sini, sambil temenin Non Alin. Biar Non gak ngelamun terus."
Hatiku terenyuh oleh perhatiannya. "Makasih banyak, Bi."
Wanita gemuk itu hanya mengibaskan tangannya sebagai respon, seolah berkata bahwa itu bukan hal penting. "Non Alin lagi nonton apa?"
"Gak tahu nih, Bi. Gak ada yang seru."
"Pindahin ke TV lokal aja, Non. Jam segini ada film india yang seru."
Beberapa detik kemudian tayangan serial india yang ia maksud sudah menghiasi layar TV. Wanita itu mulai mengomentari jalan ceritanya, sambil sesekali menjelaskan padaku latar belakang para pemerannya. Aku hanya mengangguk-angguk dan sesekali ikut memberi komentar, pura-pura tertarik demi sopan santun.
Tiba-tiba aku ingin bertanya sesuatu padanya. Tentang sosok yang setiap pagi menatap balik dari dalam cermin, tapi sama sekali tak kukenali. "Bi, aku mau tanya sesuatu."
Sekonyong-konyong ekspresi santainya berubah tegang. Sejenak hati ini merasa iba padanya, pasti ia takut bila aku bertanya tentang Neo atau hal tidak masuk akal lainnya, lalu lagi-lagi histeris dan kabur, membuatnya bertanggung-jawab menjelaskan ketantrumanku pada ayah. Cepat aku menambahkan, "Bukan tentang … hal-hal yang aneh kok, Bi. Maaf ya, kemarin aku bikin Bibi pusing dan cemas."
Ia mengangguk, walau wajahnya masih menampakkan ketidaknyamanan. "Kalau Bibi bisa jawab, pasti Bibi jawab, Non. Kalau Bibi bisa bikin Non merasa lebih baik, pasti akan Bibi lakukan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Glitch
Science FictionGlitch (completed) ------------------------------------------------------- "Neo lagi apa, Yah? Aku mau bicara, dong." "Siapa?" "Neo. Udah bangun belum dia?" "Neo siapa, Lin?" Aku bersumpah jantungku berhenti berdetak selama beberapa detik. "Maksud...