Chapter Four: The Doppelgangers

313 54 4
                                    

"Alin? Ngapain bengong di pinggir jalan?"

Suara bernada datar yang biasanya membuat kesal itu kini terdengar seperti lantunan irama paling indah. Aku mendapati Diandra menghentikan mobilnya tepat di samping kanan dan menurunkan kaca jendela.

"Di? Di, ya Tuhan! Akhirnya kamu pulang juga! A-aku … aku nyari kamu seharian, ke rumah sakit … HP-ku tiba-tiba gak nyala…." Semua kata itu berhamburan secara acak, dengan suara serak dan bergetar yang nyaris tak kukenali.

"Lin, kamu pucat banget! Cepet masuk! Kita ngobrol di rumah aja."

Aku mengangguk, lalu bergegas membuka pintu Honda itu dan duduk di kursi depan. Perasaan tenang mulai menjalari hati, ternyata malam ini aku tidak perlu tidur di jalanan. Diandra menarik beberapa lembar tisu dari kotak di tengah dasbor, lalu memberikannya padaku. Selama sepersekian detik, aku tidak mengerti apa maksudnya. Tapi kemudian, aku tersadar bahwa kedua pipiku telah basah oleh air mata yang terus mengalir entah sejak kapan.

Aku menerima lembaran tisu itu dengan malu sambil menggumamkan ucapan terima kasih. Diandra tidak menjawab, ia memang tidak pernah pandai dalam berbasa-basi. Aku berdeham, kemudian bertanya, "Kamu dari mana, Di?"

"Dari kampus, lah. Kamu sendiri?"

Tipikal. Ia begitu gila belajar hingga tetap pergi ke kampus bahkan saat ibunya terkapar karena tifus di kamar rumah sakit. "Aku dari rumah sakit, aku nyoba telepon kamu tapi gak bisa."

"Rumah sakit?" Tepat saat itu, kami telah sampai di depan rumah besar berpagar coklat yang tadi siang kutinggalkan. Benarkah itu baru beberapa jam yang lalu? Rasanya seperti sudah lama sekali.

Diandra memintaku untuk membukakan pagar, lalu memarkir mobil putihnya di garasi. Ia mengajakku masuk melalui pintu samping yang terhubung dari garasi ke dapur. Bunyi keroncongan dari dalam perut sudah bertambah kencang, aku berpikir untuk langsung meminta makan malam pada Diandra begitu sampai di dalam.

Tepat saat melangkahkan kaki ke dalam, apa yang kudapati membuat sisa-sisa kekuatan yang sejak tadi susah payah dipertahankan menguap ke udara. Bersamaan dengan jatuhnya tubuh ke lantai yang dingin, terdengar lengkingan pekik dari mulutku sendiri.

Sosok yang menyerupai Bude itu berdiri di sana, sambil menggendong sang bayi berkepala botak yang menyeringai lebar.

***

Samar-samar tercium bau khas minyak kayu putih. Hal selanjutnya yang kusadari adalah kering yang luar biasa pada kerongkongan. Kepala terasa begitu berat, begitu pun kedua kelopak mata—ingin tidur beberapa saat lagi. Hampir saja aku kembali terlelap saat merasakan sebuah goyangan pelan pada tanganku.

"Lin, bangun! Alin? Kamu udah sadar?" Nada suara Diandra terdengar begitu mendesak, membuatku terpaksa membuka mata. "Bu! Bu, Alin udah sadar!"

Sepupuku yang biasanya selalu murung dan bicara seperlunya itu tiba-tiba terdengar begitu panik. Aku tidak mengerti apa yang diributkannya. Terdengar suara langkah kaki yang berderap memasuki ruangan. Namun, karena kantuk yang luar biasa masih menyerang, tanpa sadar aku kembali memejamkan mata.

"Nduk? Ya Allah, alhamdulillah. Ada apa sebenarnya? Kamu bikin Bude khawatir setengah mati."

Seketika semua ingatan kembali menyeruak memenuhi setiap sudut pikiran. Bude yang seharusnya sedang diopname, bayi botak yang membuatku ngeri, ponsel yang tak berfungsi, berjam-jam mondar mandir berkeliling rumah sakit ….

Kini kantuk itu perlahan hilang, berganti mata yang terbuka lebar. Secepat kilat aku terduduk, walau sakit yang bukan main segera menyerang kepala. Di hadapanku, Bude tengah berdiri sambil menggendong bayi itu dengan kain batik, wajahnya terlihat penuh kekhawatiran. Diandra duduk di samping ranjang, sebotol minyak kayu putih di tangan kanannya. Ya Tuhan, ini semua masih terjadi, bukan hanya mimpi.

GlitchTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang