Aku menemukan sebuah lip balm berwarna yang kemasannya telah berdebu di dalam laci meja rias. Terdapat juga bedak padat untuk bayi. Saat kubuka, bedak padat itu masih utuh dengan permukaan mulus seolah belum pernah tersentuh. Mengingat Alin versi ini tidak mungkin membeli keduanya, kemungkinan besar kedua benda ini adalah pemberian Ayah yang ia—aku—abaikan.
Setelah memastikan keduanya masih aman digunakan, aku mulai mengoleskannya di wajah lusuh ini. Rasanya sedikit konyol, memakai keduanya pada pukul delapan malam. Hanya saja apa yang akan kulakukan sebentar lagi memerlukan kepercayaan diri, dan aku selalu merasa lebih percaya diri jika tampil dengan sedikit riasan wajah.
Dari arah bawah, terdengar suara klakson dan tak lama kemudian suara pagar terbuka. Ayah telah tiba. Sebagai sentuhan terakhir, aku menyisir rambut panjang dengan gelombang alami ini dan mengikat setengah bagian atasnya dengan seutas pita hitam yang juga kutemukan di dalam laci, menyisakan poni dan beberapa helai di sisi kanan kiri. Kini bayangan lusuh di cermin itu terlihat sedikit lebih baik Setelah mematut-matut diri selama beberapa detik lagi, aku memantapkan hati lalu melangkah ke luar kamar dan menuruni tangga.
Rencana ini harus berhasil.
***
Piring-piring kosong di atas meja makan menjadi saksi kebohonganku pada Ayah.
Ekspresi Ayah sulit ditebak, perpaduan antara keheranan, perasaan tidak percaya, tapi juga setitik rasa senang. "Jadi, kamu pengen balik lagi ke Bandung besok pagi?"
"Well, itu juga kalau boleh sama Ayah. Diandra dari tadi sore udah neleponin berkali-kali, ngajak main ke Trans Studio," ucapku dengan wajah polos dan mata berbinar yang semoga saja terlihat natural, seraya menyilangkan telunjuk dan jari tengah di balik punggung.
Ayah termangu sejenak, sepertinya tengah mempertimbangkan keputusan. "Kemarin kamu ngotot banget mau pulang, sekarang malah pengen balik lagi. Kepalamu gimana? Kan besok jadwal periksa."
"Kayaknya gak perlu periksa, deh. Tadi aku tidur siang beberapa jam, begitu bangun rasanya kayak terlahir kembali. Seger banget, pusing udah hilang, linglung juga ikut hilang." Aku tertawa kecil agar terlihat lebih meyakinkan. "Bodoh banget aku dari kemarin, nyamain mimpi sama kenyataan. Tapi sekarang aku udah sepenuhnya sadar, Yah."
"Hmm, kamu emang kelihatan jauh lebih baik daripada kemarin, sih," responnya sambil memperhatikanku.
Tentu saja aku terlihat lebih baik. Itulah hasil dari menata rambut, menggunakan bedak dan sedikit pewarna bibir. Untunglah Ayah tidak tahu apa-apa soal riasan wajah hingga ia tidak menyadarinya. "Jadi, gimana, Yah?"
Ia menempelkan telapak tangannya di dahiku. "Yakin, kamu udah gak pusing?"
"A hundred percent sure."
"Okay, then. Ayah cancel aja janji temu sama dokternya. Lagian, liburmu tinggal empat hari, ya mending dipakai liburan."
"Nah, itu dia, Yah." Aku mengangguk-angguk.
"Ya sudah, ayo kita istirahat. Besok sebelum ngantor, Ayah antar kamu sampai stasiun."
Malam itu untuk pertama kalinya setelah berhari-hari, aku tertidur dengan seulas senyum simpul di wajah.
***
Sepuluh menit lagi kereta ini akan tiba di Stasiun Bandung. Entah apa sebenarnya rencanaku. Sejauh ini aku hanya mengandalkan insting semata, bertindak impulsif. Sejak tahu bahwa ada segelintir orang yang juga mengalami hal-hal aneh itu, tujuanku hanya satu, yaitu bertemu dengan salah satu dari mereka dan bertukar pengalaman, mencari jalan keluar.
Pemuda yang membuatku lari ketakutan dua hari lalu kini menjadi satu-satunya harapan. Memang tidak ada jaminan bahwa pemuda berambut berantakan dengan kaus oblong dan celana denim lusuh itu masih berada di stasiun. Malah, kemungkinannya sangat kecil. Namun, kemungkinan dan harapan sekecil apapun kini kupegang erat, karena itu sedikit lebih baik daripada tidak sama sekali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Glitch
Science FictionGlitch (completed) ------------------------------------------------------- "Neo lagi apa, Yah? Aku mau bicara, dong." "Siapa?" "Neo. Udah bangun belum dia?" "Neo siapa, Lin?" Aku bersumpah jantungku berhenti berdetak selama beberapa detik. "Maksud...