Chapter Nineteen: The Glimpse of Multiverse

182 33 4
                                    

Fitur baru yang ditanamkan Bio pada Time Turner ternyata berjalan dengan sempurna. Siang itu, setelah Bio mengecek mesin berulang kali dan memastikan tidak ada kesalahan sedikit pun pada seluruh komponennya, aku kembali dimasukan ke dalam tabungnya. Bio menyimpulkan, beberapa menit yang kuhabiskan melayang-layang di alam kuantum itu bukan karena kesalahan pada mesin, melainkan karena faktor lain di dalam alam kuantum itu sendiri, yang belum ia ketahui. Namun, Bio dan Diandra meyakinkan bahwa mesinnya sendiri seratus persen aman. Kemudian, saat Bio menekan tombol re-trip, secara otomatis aku terlempar kembali ke semesta yang baru saja kukunjungi beberapa jam sebelumnya.

Namun, hingga saat ini, setelah lima hari berlalu, tombol itu belum juga perlu ditekan lagi. Kami belum juga diberi keberuntungan untuk akhirnya sampai di semesta yang tepat. Terhitung sudah enam belas kali percobaan sejak pertama kali aku terlibat dalam proyek rahasia ini. Di setiap semesta yang berbeda itu, aku selalu menemukan perbedaan dengan semesta tempatku berasal. Entah itu tentang ada atau tidaknya Neo, asisten rumah tangga yang bukan Bi Dedeh, atau terjadinya kecelakaan di dalam terowongan kereta. Untungnya, adik Diandra, Derrel, selalu muncul di setiap semesta. Setidaknya bocah menggemaskan itu dapat menjadi pelipur lara untukku bercengkerama menghilangkan penat dan sedih yang ada setiap kali mendarat di semesta yang salah.

Kecelakaan di terowongan itu terjadi di tiga semesta yang kukunjungi. Pertama, adalah saat percobaan pertama. Di mana tubuhku di sana terluka cukup parah sehingga harus mengalami amputasi kaki. Di dua semesta lainnya, tubuhku hanya menderita luka-luka ringan yang tak berarti.

Hari ini adalah hari Rabu. Seharusnya aku sudah menjadi siswi kelas tiga SMA. Alih-alih mengenakan seragam dan bergabung dengan kawan-kawan sebaya, aku malah mengenakan baju kedodoran milik anggota HMTF yang ditinggalkan di laboratorium dan telah menginap di sini selama empat malam. Kami terus berkutat dengan percobaan demi percobaan, walau sejauh ini belum ada tanda-tanda akan keberuntungan.

Seharusnya aku pulang ke Jakarta pada hari Minggu pagi. Namun, aku tak kuasa meninggalkan proyek ini. Untuk apa pula aku pulang ke tempat yang bukan merupakan rumah yang sesungguhnya? Maka aku memutuskan untuk nekat melarikan diri tanpa kabar. Diandra membantu pilihanku itu dengan ikut menghilang dari ibunya. Pastilah kini orang tua kami panik luar biasa, tapi tak urung aku merasa bahwa proyek ini jauh lebih penting. Sepertinya begitu pulalah perasaan Diandra dan yang lainnya.

"Lin, ayo istirahat dulu. Tubuhmu perlu banyak istirahat." Lukas menepuk bahuku, membuyarkan lamunan. "Nih, minum cokelat panas biar cepet ngantuk."

Aku tersenyum seraya menerimanya. Hati ini merutuki sikap Lukas yang terlampau baik dan perhatian, karena seringkali membuatku salah tingkah. Belum lagi, pemuda itu kini dua kali lebih tampan dibanding ketika pertama kali kami bertemu. Itu karena ia telah mencukur habis kumis, jenggot dan cambangnya. Juga memangkas rambutnya menjadi cepak pendek yang terlihat sangat gagah sekaligus rapi.

"Makasih ya, Luk."

Sore itu, kami tengah duduk-duduk santai di karpet bulu ruang tengah gedung laboratorium sambil menonton TV. Diandra juga duduk bersama kami, walaupun fokusnya tetap pada buku catatan yang selalu ia bawa ke mana pun. Sementara Bio masih berkutat dengan after used service mesinnya di ruang bawah tanah.

"Semoga besok ada keberuntungan bagi kita." Lukas merebahkan tubuhnya di karpet itu dengan bantal kecil sebagai alas kepala.

"Jujur, aku mulai kehilangan harapan. Bener kata Bio, jumlah semestanya tak terhingga. Entah kapan aku akan secara kebetulan mendarat di semesta yang tepat."

"Jangan pupus harapan gitu." Diandra, tanpa menegakkan kepalanya, menimpali ucapanku.

"Diandra benar." Lukas mengangguk. "Seenggaknya kita udah berusaha, aku yakin pasti bakal ada jalan."

GlitchTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang