Chapter Twenty-one: The Origin Universe

222 36 7
                                    

Kami sepakat untuk tidak membuang-buang waktu dan berangkat malam itu juga.

"Di, sorry banget. Maaf banget aku ngerepotin kamu sampai segininya. Nanti, tolong sampaikan maafku sama Bude dan Pakde. Bilang aja semua kekacauan ini salahku. Bilang aja aku yang ajak kamu ke organisasi agama sesat itu." Aku berkata tulus sambil menatap Diandra penuh sesal.

Sesal karena pernah begitu tidak menyukai gadis ini, berprasangka begitu buruk dan menghindarinya sebisa mungkin. Sesal karena baru dalam keadaan mendesak seperti inilah aku menyadari bahwa sepupuku satu-satunya ternyata adalah seorang gadis yang bukan hanya cerdas, tapi juga begitu baik hati dan berani berkorban.

"Gak usah terlalu dipikirin. Ini gak ada apa-apanya dibanding yang lagi kamu alami." Gadis yang sedang mengemudikan mobilnya di jalan tol itu menjawab dengan nada datarnya yang biasa.

Siang tadi, setelah Diandra meyakinkan Aina bahwa rencana ini aman dan ia akan bertanggung jawab akan kebohongan yang harus dikatakan pada orang tuanya, semuanya berjalan lancar. Mudah saja mencari mobil pick-up sewaan dengan dibantu ibu pemilik warung nasi yang menjadi langganan kami selama menetap di gedung laboratorium Rancabali. Beruntung mobil itu tersedia untuk disewa sore itu, hanya perlu diambil sendiri di dekat kantor kecamatan. Kami memutuskan bahwa aku dan Diandra akan tetap menggunakan Honda Diandra sementara Lukas dan Bio membawa Time Turner di mobil sewaan.

"Di, aku ...." Aku sengaja menggantungkan kalimat itu karena ada setitik rasa malu untuk melanjutkannya.

Setelah beberapa detik, Diandra bertanya, "Apa?"

"Aku juga minta maaf, karena selama ini udah gak suka sama kamu. Aku bahkan gak nyoba untuk ngenal kamu lebih dulu."

Diandra hanya terdiam. Aku tidak terkejut, toh gadis itu memang tidak pernah pandai mengungkapkan perasaannya.

Namun, di luar dugaan, sesaat kemudian ia buka suara, "Bukan cuma kamu, kok. Aku juga berprasangka, selalu ngira kamu anak manja yang gak bisa apa-apa. Nyatanya, kamu kuat banget ngehadapin ini semua. Kalau aku ada di posisi kamu, aku belum tentu kuat. Jadi, kita impas."

Aku melongo. Diandra hampir tidak pernah berbicara sepanjang itu kecuali tentang hal-hal teknis dalam proyek TT. Kalimat tadi adalah permintaan maaf paling manis yang pernah kudengar, walau tanpa satu pun kata maaf.

"Kalau aku berhasil pulang sekarang, jangan pernah lupain aku ya, Di." Tiba-tiba saja aku merasa sedih karena harus berpisah dengannya.

Diandra tertawa. "Aku gak mungkin lupain kamu, karena semester depan pun pasti Om maksa kamu lagi buat liburan ke Bandung."

Aku balas tertawa. "Iya juga, sih. Ayah gak pernah menyerah. Tapi, itu kan bukan aku."

"Iya, itu bukan kamu," ulangnya.

"Diandra yang bakal ada di sana pun, bukan kamu."

Diandra mengangguk. "Kita coba lebih saling mengerti aja. Siapa tahu, impian Om dan Ibu untuk kita jadi sahabat bisa tercapai."

Aku tertawa. "Aku janji bakal coba ngedeketin Diandra di sana."

"Aku sih gak janji, habisnya kamu nyebelin."

Aku terbahak keras, ia ikut tertawa. Tiba-tiba saja kami telah terbahak berdua hingga setitik air mata nyaris keluar.

"Kamu harus ganti gaya rambut," ceplosku jujur di sela-sela tawa.

Diandra tampak terkejut, tapi lalu membalas, "Kamu harus berhenti pake eyeliner ke mana pun kamu pergi."

"Apa salahnya pake eyeliner?" tanyaku kesal.

GlitchTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang