Pintu rumah terbuka lebar, Bi Dedeh dengan daster batiknya yang khas berdiri di ambangnya. Ia segera menarikku ke dalam pelukan. "Non Alin!"
Aku membalas pelukannya dengan tulus, baru menyadari betapa hati ini merindukan kepeduliannya yang walau kadang berlebihan, tetapi terasa nyaman. "Bi Dedeh!"
"Non Alin udah baikkan? Kok, bisa-bisanya pulang sendiri dalam keadaan kurang sehat? Sejak tahu Non Alin di jalan pulang, Bibi gak henti-henti berdoa."
Aku tersenyum. "Makasih banyak, Bi. Tapi aku baik-baik aja, jauh lebih baik dibanding kemarin."
"Kopernya mana, Non?"
"Aku tinggalin di Bandung. Kata Bude gak usah dibawa dulu biar aku gak repot di jalan. Kan, aku masih kurang fit dan nanti juga balik lagi ke sana."
"Oh, iya, iya," jawabnya memanggut-manggut. "Non Alin mau makan siang apa? Bibi siapin, ya."
Kata 'makan siang' seolah menjadi sinyal bagi perutku untuk memulai aksi keroncongannya, ternyata sejak tadi ia sudah berharap minta diisi. "Apa aja, deh, Bi. Aku lapar berat."
Wanita lembut itu mengelus kepalaku penuh sayang. "Ya udah, Bibi gorengin gepuk dan sambal ya. Tapi sebelumnya, Bibi harus telepon Bapak dulu. Tadi Bapak pesan kalau Non udah sampai, minta segera dikabari. Katanya mau pulang dulu dari kantor untuk ngelihat sendiri keadaan Non Alin."
Aku mengangguk lalu meninggalkannya untuk menuju ke lantai dua, tak sabar ingin segera mengecek kamar Neo.
***
Harapan untuk merasa lebih tenang dan lebih baik setelah sampai di rumah pupus begitu saja begitu aku melangkahkan kaki memasuki ruangan itu. Ruangan yang seharusnya berdinding biru langit dengan wallpaper berbentuk awan-awan putih kecil itu kini dicat abu muda, dengan deretan rak buku tinggi di seluruh sisinya. Sebuah meja dengan set komputer lengkap dengan printer berdiri angkuh di pojok kanan ruangan itu, menggantikan ranjang hitam berbentuk mobil balap yang seharusnya berada di sana.
Kamar Neo telah berubah menjadi perpustakaan.
Tanpa pikir panjang lagi aku berbalik seraya membanting pintu kamar itu dengan frustasi lalu masuk ke kamar yang letaknya tepat di seberang, kamar tidurku sendiri. Aku terhenyak dan terpaku selama beberapa saat. Itu adalah ruangan yang sama—luasnya sama, dengan jendela, ranjang, lemari dan meja rias yang sama—tapi dalam berbagai hal terasa sangat asing dan membuat bulu kuduk berdiri.
Dinding-dinding yang seharusnya dipenuhi dekorasi lenyap sudah. Berganti dengan dinding putih polos yang hanya berhiaskan sebuah jam dinding hitam sederhana di salah satu sisinya. Kasur yang biasanya dilapisi seprai bermotif etnik beragam warna, kini putih bersih tak ubahnya ranjang di kamar hotel. Meja rias besar dengan cermin yang dihiasi lampu bohlam di sekelilingnya, kosong sempurna kecuali sebuah sisir yang tergeletak begitu saja di bagian tengah—seharusnya meja itu dipenuhi berbagai koleksi riasanku dan alat-alat penata rambut yang tidak murah harganya.
Perlahan dan penuh perasaan was-was, kubuka lemari putih tinggi berpintukan cermin besar yang telah menjadi furnitur kamar ini sejak awal. Benar saja, isinya sama sekali tak kukenali. Nyaris kosong kecuali setumpuk baju-baju polos berpotongan membosankan—seperti blouse merah kemarin dan kemeja hitam pendek yang kukenakan sekarang.
Ya Tuhan, apa yang sebenarnya tengah terjadi?
***"Lapar, Non? Tunggu aja di meja makan, sebentar lagi masakannya siap," ujar Bi Dedeh yang tengah memasak oseng kangkung padaku yang terduduk lesu di depan meja dapur.
Aku hanya memiliki waktu sekitar dua puluh menit sebelum Ayah datang, baru saja ia mengirim pesan bahwa ia sedang dalam perjalanan pulang ke rumah. Bi Dedeh mungkin dapat mempercayaiku—selama ini ia selalu lebih memahamiku dibanding Ayah. Selain itu, ia sangat menyayangi Neo, ia mengurusnya dengan penuh kasih sayang sejak Neo hanya seorang bayi kecil piatu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Glitch
Science FictionGlitch (completed) ------------------------------------------------------- "Neo lagi apa, Yah? Aku mau bicara, dong." "Siapa?" "Neo. Udah bangun belum dia?" "Neo siapa, Lin?" Aku bersumpah jantungku berhenti berdetak selama beberapa detik. "Maksud...