Chapter Twelve: The College Friend

217 34 3
                                    

Perjalanan menuju rumah sakit terdekat terasa tak berujung, padahal jaraknya hanya beberapa ratus meter saja. Diandra sama sekali tidak menangis walaupun dagunya yang sobek terus mengeluarkan darah, hanya sesekali meringis kesakitan. Lembar demi lembar tisu yang tersedia di dasbor telah habis menyerap cairan merah itu, kini baju yang dikenakannya sudah basah sebagian. Aku masih dalam keadaan syok hingga seluruh tubuh terasa menggigil. Gadis itu sendiri berkata ini hanya luka luar yang tidak berbahaya. Namun, tetap saja aku khawatir setengah mati. Lukas pun berulang kali menengok ke belakang dari arah bangku kemudi untuk mengecek keadaannya.

Akhirnya kami sampai. Setelah memarkirkan mobil secepat kilat, aku dan Lukas berusaha memapah Diandra memasuki rumah sakit tersebut-usaha yang langsung ditolak gadis itu mentah-mentah. Ia bilang dagunya yang terluka sementara kakinya baik-baik saja. Seorang petugas keamanan segera mengarahkan kami untuk memasuki ruang IGD. Di dalamnya, setelah menjelaskan duduk perkara pada seorang perawat, kami diminta menunggu sementara Diandra di bawa ke sebuah ruangan lainnya untuk tindakan penjahitan luka.

"Jangan kabari ibuku macam-macam dan bikin dia cemas berlebihan, nanti selesai dijahit aku sendiri yang bakal nelepon," pesannya sesaat sebelum memasuki ruangan itu.

Aku mengangguk, kemudian duduk di kursi tunggu, bersebelahan dengan Lukas.

"Dia kuat banget," komentar Lukas sambil memandang ke pintu ruang tindakan.

"Dia emang selalu begitu."

"Kalian gak mirip," komentarnya lagi. "Maksudku secara fisik. Aku gak bermaksud bilang kamu gak kuat atau apa--"

Aku mengangkat tangan, memintanya berhenti mengoceh. "Emang bener. Sifat kami bertolak belakang. Secara fisik juga gak mirip karena kami cuma sepupu dan bukan kakak adik."

Ia mengangguk. "Kayaknya kalian gak akrab, ya?"

Sebagai jawaban, aku hanya mengangkat bahu. "Menurutmu, apa dia bakal baik-baik aja?"

"Pasti. Sebetulnya, bener apa yang dia bilang. Itu cuma luka luar. Setelah dijahit, beres. Tapi, tetep aja. Ngilu rasanya liat luka sobekan dan darah sebanyak itu." Lukas mengusap mukanya dengan kedua tangan. "Jambret sialan!"

Kata jambret terasa tidak relevan. Aku hampir lupa pengendara motor tadi memang merebut tas tangan Diandra. Namun, itu rasanya tidak begitu penting dibanding membuatnya jatuh tersungkur hingga terluka sedemikian rupa. Selain itu, ada sesuatu pada sosoknya yang membuatku merasa merinding, entah apa. Darah ini mendidih menyadari semua ini dilakukan orang itu hanya demi sejumlah uang. "Iya, jahat banget!"

"Orang Bandung banyak yang jahat, ya." Lukas mendesah. Aku tahu ia mengacu pada kejadian kemarin siang di pelataran parkir Stasiun Bandung saat seseorang dengan sengaja merusak ban motornya.

Aku menghela napas. Tragedi barusan sama sekali tidak terduga. "Semoga Di cepat pulih. Aku merasa bersalah banget. Dia kan mau bantu kita."

"Gak ada yang mau hal kayak gini terjadi. Aku cuma berharap kali ini kita berhasil, Lin, biar semua gak sia-sia. Aku penasaran apa yang mau dia tunjukan ...."

Aku tidak lagi mendengar apa yang dikatakannya. Fokus ini teralih pada seorang ibu muda dan anak lelaki yang baru saja melangkah memasuki IGD. Bocah menggemaskan itu terlihat pucat dan kuyu, sementara sang ibu dengan sedikit panik menceritakan kondisi putranya yang ternyata terserang diare. Bocah itu sepertinya baru berusia lima atau enam tahun, tinggi badannya hampir sama seperti Neo. Hati ini mendadak dipenuhi desiran yang membuat nyeri, rasa sesak yang membuatku tersadar, betapa besar rasa rindu pada adik kecilku itu.

Beberapa hari terakhir kuhabiskan dengan merasa bingung, frustasi, mencari solusi. Tanpa pernah benar-benar mencerna bahwa jika semua ini tidak berhasil-jika aku tidak bisa kembali ke semesta asal-aku tidak akan lagi bisa bertemu Neo, selamanya. Tengkuk ini bergidik, dan suara bergetar saat aku berkata, "Ya, kali ini harus berhasil."

GlitchTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang