Chapter Five: The Trip Back

286 48 2
                                    

Dalam suara Ayah terselip nada sabar yang dibuat-buat, terdengar pula setitik prihatin—seolah sang putri dengan bodohnya bertanya apakah bumi ini datar. Detik itu juga, tepat begitu kalimat terakhir Ayah terlontar, aku yakin sesuatu yang sangat salah telah terjadi. Aku mungkin saja melupakan adik Diandra dan mengada-ada soal perceraian Bude dan Pakde. Namun, tidak akan pernah bahkan dalam miliaran kesempatan, aku mengada-ada tentang Neo.

Jika mereka bilang adikku itu tidak pernah ada, entah apa yang lebih nyata di dunia ini. Baru kusadari jemari menggenggam gagang telepon begitu keras hingga kuku-kukunya memutih. Aku berdeham, sebisa mungkin mengatur agar terdengar rasional dan tenang. Membuat mereka menganggapku lebih linglung dan gila lagi tidak akan memperbaiki keadaan. "Ayah, kayaknya aku harus pulang."

"Lin," desahnya, memang bukan hal baru bagiku untuk meminta pulang lebih awal saat sedang dalam jadwal berlibur ke rumah Bude. "Jangan mulai, deh."

"Aku serius, Yah. Aku harus pulang."

"Kalau ini cuma akal-akalanmu kayak biasa, Ayah bersumpah—"

"Aku ke stasiun sekarang dan bakal naik kereta paling pagi ke Jakarta." Dengan cepat aku memotong kalimat Ayah lalu memutuskan hubungan telepon.

Bude yang mengenakan celemek dan masih dengan spatula di tangan kanannya berpandangan dengan Pakde yang menurunkan koran di tangannya. Pakde kemudian mengalihkan pandangannya ke arahku dengan kening berkerut. "Kamu harus ke dokter dulu, Lin. Kondisi kamu lagi gak fit. Pakde gak akan izinin kamu pulang dalam keadaan linglung begini."

"Bude udah atur jadwal periksa kamu, Nduk. Kalau kamu memang ingin pulang, gimana kalau pulangnya besok aja? Setelah kita tahu apa diagnosa dokter." Giliran Bude yang membujuk.

"Bude, Pakde, makasih untuk perhatian kalian. Tapi aku harus pulang, ada urusan mendadak di Jakarta yang gak bisa ditunda." Aku menjelaskan dengan nada se-meyakinkan mungkin. "Urusan sekolah, kenaikkan kelas tiga. Bude dan Pakde pasti tahu, kan, betapa ribetnya urusan tahun terakhir di SMA. Segera setelah urusan itu beres, aku akan balik lagi ke sini untuk liburan."

Bagus. Ide cemerlang menambahkan detail tentang sekolah itu muncul di saat-saat terakhir. Dengan anak gila akademis seperti Diandra, mereka pasti paham betapa pentingnya urusan sekolah. Benar saja, Pakde kini mengangguk ke arah Bude, dijawab dengan gerakan mengangkat bahu oleh sang istri. "Ya sudah. Kamu jangan naik ojek. Tunggu sebentar." Ia berjalan ke arah dapur, tepatnya ke pintu yang tersambung dengan garasi. "Di, antar dulu Alin ke stasiun!"

"Apa-apaan!" Terdengar pekikan Diandra yang tengah memanaskan mobil di garasi.

"Gak usah, kok, Pakde. Aku belum juga siap-siap. Kasihan Di nanti telat kuliah." Dengan cepat aku menolak. Lebih baik naik ojek atau taksi daripada harus diantar Diandra dan melihatnya cemberut sepanjang perjalanan karena aku membuatnya terlambat ke kampus. Belum lagi aku berencana mampir di warung pulsa untuk membeli kartu ponsel baru dalam perjalanan ke stasiun.

"Alin, kalau kamu gak diantar Di," ucap Bude dengan nada serius. "Bude gak akan izinin kamu pulang."

Aku segera mengatupkan kembali mulut yang tadi sudah menganga untuk tetap menolak, kemudian mengangguk pasrah. Beberapa detik kemudian muncul Diandra yang mencak-mencak memasuki ruang keluarga. Matanya mendelik ke arahku, seolah berkata, "Kalau sampai aku telat, kamu yang salah!" Begitulah Diandra, tak pernah banyak bicara, tapi ekspresi pada wajahnya sering kali lebih dari tajam dari kata-kata.

Aku menunduk, menghindari tatapannya. Sedetik kemudian muncul perasaan menyesal telah menunduk seperti seorang yang bersalah. Memangnya apa yang salah? Bukan aku yang ingin diantar olehnya. Aku mengangkat kembali wajah dan mencoba membalas tatapannya dengan nyali besar. Gadis itu mengerutkan keningnya lalu membentak, "Lihat apa kamu? Cepat siap-siap!"

GlitchTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang