8 Juli 2019
"Hati-hati, Lin. Salam buat Bude dan Pakde. Semoga liburanmu menyenangkan." Ayah membelai rambut bergelombangku yang terikat dalam cepol asal.
Liburan? Yang benar saja. Sampai detik ini aku masih tidak mengerti mengapa Ayah tetap memaksakan kehendaknya agar aku dan Diandra-sepupuku-bisa berteman akrab. Ia begitu kaku dan menyebalkan, juga seringkali meremehkanku dengan tatapan dan kalkmat-kalimat singkatnya. Bude, kakak perempuan Ayah satu-satunya tidak terlalu buruk, ia cukup ramah dan perhatian. Walaupun tentu saja ia selalu disibukkan dengan si kecil Derrel, adik lelaki Diandra yang baru berusia tujuh bulan. Karena Pakde pun sibuk bekerja dan hanya ada di rumah pada waktu sarapan dan malam hari menjelang tidur, otomatis waktuku di sana hanya akan dihabiskan dengan menonton TV dan berselancar di internet dengan ponsel.
Yah, setidaknya sesekali bermain dengan Derrel yang menggemaskan bisa sedikit menghibur. Bayi lelaki itu ramah dan suka tersenyum. Berkebalikan dengan sang kakak yang pemurung dan suka cemberut.
Jangan harap Diandra akan mengajakku pergi bersenang-senang atau sekadar berbincang ringan. Itu tidak pernah terjadi satu kali pun selama belasan tahun kami hidup bersepupuan. Padahal, di setiap jadwal libur semester sekolah, aku selalu berlibur di rumahnya. Atas paksaan Ayah.
Biarpun merasa dongkol, tetap kupaksakan senyum untuk Ayah. Sebagai anak tunggal yang seringkali ditinggal olehnya karena sibuk bekerja, aku terbiasa untuk selalu bersikap manis dan penurut. Bagaimanapun juga, Ayah tidak memiliki siapapun kecuali aku sejak kematian Ibu sembilan tahun silam.
"Oke, nanti kusampaikan salamnya."
Segera setelah Ayah berbalik pergi, aku berjalan memasuki gerbong kereta yang lima belas menit lagi dijadwalkan untuk melaju. Gerbong itu baru terisi setengah, mudah saja menemukan bangku dengan nomor yang tertera di potongan tiket dalam genggaman. Beberapa penumpang tengah memasukkan kopernya ke kabin, membuatku berjalan sambil memiringkan tubuh menuju ke sana.
Bangku itu berada di sisi jendela dan menghadap ke depan, setidaknya aku mendapatkan posisi terbaik. Dengan kedua tangan, aku mengangkat koper cabin-sized milikku, mencoba menaikkannya ke kabin di atas bangku. Sialnya, gantungan kunci oleh-oleh dari Ayah dalam salah satu perjalanan bisnisnya yang terpasang ke koper itu tersangkut pada permukaan blouse merahku yang berbahan chiffon tipis. Saat kucoba untuk melepasnya dengan paksa, gantungan berbahan logam itu meninggalkan secarik sobekan yang menarik kain di sekitarnya jadi berkerut. Aku berdecak kesal. Wanita berkerudung hijau yang duduk di hadapanku dan sedang berkonsentrasi pada Candy Crush di ponselnya sepertinya tidak tergugah sedikit pun untuk membantu.
"Maaf, Mbak, boleh permisi sebentar? Saya mau lewat," ucapku sopan padanya setelah berhasil mengangkat koper itu ke kabin. Ia memang menghalangi jalan menuju bangkuku yang berada di sampingnya.
Wanita itu mengangkat kepalanya sejenak, lalu sambil berdecak sebal menggeser sedikit posisi kakinya. Ya Tuhan, aku harus duduk bersebelahan dengan wanita tidak menyenangkan ini dalam perjalanan panjang yang bahkan tak kuinginkan, bagus sekali.
Menghindari bosan, aku memasang perangkat headset ke kedua telinga dan lagu Blank Space dari Taylor Swift pun mengalun merdu mengawali puluhan lagu lainnya dalam Spotify-ku. Lebih baik mendengarkan lagu sampai tertidur daripada harus berbasa-basi dengan teman berkendara seperti si wanita berkerudung hijau.
***
Hal yang membangunkan tidur lelapku adalah sebuah suara ledakan keras yang memekikkan telinga.
Selanjutnya, aku merasakan rasa sakit yang teramat sangat di sekujur tubuh ini. Kedua kakiku diserang perih yang begitu menusuk, hingga menggerakannya adalah sesuatu yang mustahil. Tubuh bagian atas rasanya seperti remuk, sementara kepala ini serasa dihantam palu godam, dengan jutaan paku menancap pada permukaannya. Suara berdenging keras terus terdengar, seolah menghalangi telingaku untuk mendengar hal-hal lainnya-seperti teriakan-teriakan panik dan kesakitan di sekelilingku.
Aku mencoba membuka mata, dan serangan rasa perih yang luar biasa membuatku meringis. Pandanganku kabur, kepala masih terasa berdenyut begitu konstan. Aku mencoba meraba permukaannya, dan merasakan cairan basah hangat yang mengalir. Kuangkat tangan itu ke hadapan untuk memastikan apakah benar cairan kental itu adalah darah. Merah pekatnya yang mengotori permukaan tangan dan sebagian lengan bajuku yang berwarna putih garis hitam menjawab sisa-sisa keraguan.
Aku sempat merasa sedikit bingung karena tidak mengenal baju putih bergaris hitam ini sama sekali, begitupun vest denim beraksen berlian imitasi yang melapisinya. Bukankah tadi aku mengenakan blouse merah berbahan chiffon yang lalu sedikit robek karena tersangkut pada gantungan kunci?
Namun, tidak ada waktu atau pun kekuatan untuk memikirkannya. Aku menurunkan kembali tangan ini, mencoba bernapas pelan-pelan karena setiap tarikan napas rasanya seperti meremukkan dada.
Dengan pandangan yang kabur oleh tetesan darah, aku menyadari posisi kereta telah terbalik. Dari jendela di samping, terlihat api melahap sebagian besar bagian gerbong kereta ini. Beberapa orang berhasil merangkak keluar, lalu berlarian menjauhi kereta yang terbakar. Aku berusaha bergerak, tapi gagal karena ternyata tubuh ini tengah berbaring terlipat dengan pinggul hingga kakiku masih tergantung di bangku penumpang karena sabuk pengaman yang kukenakan. Mustahil menggapai kunci sabuk pengaman itu dengan tubuh setengah menggantung dan tangan yang terasa remuk oleh rasa sakit.
Aku menoleh ke kanan, ke tempat di mana seharusnya wanita berkerudung hijau yang tidak ramah itu duduk. Alih-alih, aku mendapati seorang lelaki setengah baya berkepala botak yang telah terkapar tak sadarkan diri. Sejak kapan lelaki botak itu duduk di sebelahku, aku tidak mengingatnya.
Hal terakhir yang kupikirkan sebelum tarikan napas terakhir yang sanggup dipaksakan adalah kini Ayah tinggal seorang diri, hanya ada Bi Dedeh yang menemani.
Kemudian, gelap.
Selesai
--------------------------------------------------------------
Hai, readers!
Inilah kenyataan yang memang menanti Alin di semesta asalnya. Kenyataan yang begitu buruk hingga beberapa tahun kemudian, Diandra rela mengembara waktu untuk memperingatkan Alin tentang itu. Ia memang sudah digariskan pada takdir itu sejak menaiki gerbong kereta pada tanggal 8 Juli tersebut. Hanya saja takdir itu sempat tertunda karena glitch yang terjadi di alam kuantum, yang menyebabkannya tertukar dengan Alin dari semesta lain. Takdir yang sebetulnya dapat dihindari, jika Alin memilih untuk menerima kehidupannya di semesta lain itu. Jika Diandra yang mengembara waktu, sempat menyelesaikan kalimat peringatannya. Jika mereka tidak sebegitu teguh dan terus mencoba untuk memulangkan Alin.
Terima kasih sudah membaca sampai chapter terakhir 😭 Semoga kalian menikmati pengalaman membaca Glitch, sama seperti aku yang teramat menikmati proses penulisan karya favoritku ini. Sampai bertemu di karyaku yang selanjutnya.
XOXO,
AuthorPS: Besok masih ada epilog.
KAMU SEDANG MEMBACA
Glitch
Bilim KurguGlitch (completed) ------------------------------------------------------- "Neo lagi apa, Yah? Aku mau bicara, dong." "Siapa?" "Neo. Udah bangun belum dia?" "Neo siapa, Lin?" Aku bersumpah jantungku berhenti berdetak selama beberapa detik. "Maksud...