"Alin, alin!" Suara panik Diandra meneriakkan namaku.
Aku menyadari seorang perawat datang berlari lalu berdiri di sampingnya, mungkin Diandra menekan tombol panggilan darurat.
"Dia tadi terlelap sebentar, lalu bangun-bangun langsung histeris," jelas Diandra pada suster itu.
"Kakiku ke mana, Di? Kakiku kenapa?" tanyaku dengan suara bergetar. Namun, hanya mendapat jawaban berupa tatapan prihatin dari Diandra dan sang perawat. "Jawab!"
"Lin, kamu kenapa? Tadi mimpi buruk?" Suara Diandra bergetar. Tidak seperti biasa, ia tampak nyaris kehilangan kontrol akan dirinya. "Sus, gimana, nih?"
"Mungkin mimpi dan kena serangan panik. Saya kasih obat penenang dosis rendah ya, gak akan bikin tidur, cuma bikin rileks aja."
Diandra mengangguk. Tak lama kemudian perawat itu menyuntikkan sesuatu pada cairan infusku. Nyaris seketika, kepala ini terasa pening dan tubuh terasa lemas. Apa yang sebenarnya terjadi? Demi Tuhan, mengapa kaki kiriku … buntung?
"Ada yang perlu dibantu lagi, Mbak?" tanya perawat itu.
Diandra menjawab, "Gak ada. Makasih ya, Sus." Sesaat setelah perawat itu berbalik, Diandra memanggilnya kembali. "Eh, Sus, maaf sekalian tanya, tapi kami jadi, kan, boleh check-out hari ini?"
"Iya boleh, nanti setelah minum obat siang, bisa langsung diselesaikan administrasinya," jawab sang perawat ramah.
"Oke, makasih, ya, Sus."
"Di, apa …." Aku tak sanggup melanjutkan pertanyaan. Sesungguhnya, aku bahkan tidak tahu apa yang ingin kutanyakan.
"Apa?" tanya sepupuku itu.
Aku menggelengkan kepala perlahan. Sebelum mengutarakan pertanyaan, aku harus menyusun terlebih dahulu fakta-fakta yang ada. Fakta pertama, aku baru saja berhasil melompat ke sebuah semesta yang berbeda. Buktinya, aku tidak lagi berada di laboratorium HATI ITB di Rancabali, melainkan di sebuah rumah sakit. Fakta kedua, namaku tetap Alin. Itu artinya, memang ada dua Joshaline di dunia ini, seperti teori Lukas, Diandra dan Bio. Aku belum mengecek bayangan di cermin, tapi secepatnya akan kulakukan begitu ada kesempatan. Fakta ketiga, kini aku menjadi seorang penyandang disabilitas. Kaki sebatas paha yang terbalut kain putih ini memastikan hal itu.
Aku termenung. Memikirkan kejadian apa yang dapat menyebabkan Joshaline di semesta ini harus diamputasi kakinya. Di sampingku, Diandra mulai menyiapkan makan siang pasien berupa nasi lembek, bistik ayam, dan capcay sayur. Aku berdeham. "Di."
"Kamu kenapa tadi, Lin?"
"Maaf. Sekarang tanggal berapa, Di?" tanyaku untuk memastikan bahwa aku hanya berpindah semesta, dan bukannya melompat ke masa yang lain.
"Dua belas Juli. Kenapa?"
"Jumat, ya? Jam dua belas siang?"
"Iya, Jumat. Sekarang ini udah hampir setengah satu, sih." Hari dan waktu yang sama dengan semesta yang baru saja kutinggalkan. Itu artinya, perkiraan Diandra benar. Time Turner tidak membuat objeknya melompati waktu, melainkan melompati jarak antar semesta.
"Kakiku kenapa, Di?"
Diandra menatapku heran. "Kepalamu pusing lagi?"
"Enggak. Kakiku kenapa?"
"Kamu gak ingat?"
Aku tidak merasa perlu menjawab.
"Kamu kecelakaan empat hari lalu, Lin. Hari senin pagi, waktu dalam perjalanan ke sini."
"Ke sini? Ini di Bandung?"
Diandra memutar bola matanya, seolah aku menanyakan hal paling bodoh di dunia. "Iya, ini di Bandung. Kereta yang kamu tumpangi mengalami kecelakaan hebat waktu udah masuk wilayah Bandung. Jadi, kamu dilarikan ke rumah sakit di sini, lebih cepat penanganan lebih baik. Kemarin kamu baru berhasil melewati operasi besar. Siang ini kamu baru aja akan diperbolehkan pulang dari rumah sakit."
KAMU SEDANG MEMBACA
Glitch
Ciencia FicciónGlitch (completed) ------------------------------------------------------- "Neo lagi apa, Yah? Aku mau bicara, dong." "Siapa?" "Neo. Udah bangun belum dia?" "Neo siapa, Lin?" Aku bersumpah jantungku berhenti berdetak selama beberapa detik. "Maksud...