Lima menit yang kuhabiskan dengan berdiri terpatung di hadapan daun pintu terasa seperti satu tahun lamanya. Telapak tangan menempel pada kenop pintu. Otak ini mempertimbangkan untuk memutarnya atau justru melepasnya dan meringkuk di kasur seperti seorang pengecut. Sebagian besar dari diriku memilih opsi kedua, tapi sebagian lainnya dengan logis memaksa untuk membuka pintu dan memastikan. Lagipula, memangnya apa yang bisa kulakukan, bersembunyi selamanya di sini?
Keringat dingin yang muncul di pelipis tak kuhiraukan. Tujuh belas tahun hidup di dunia, aku tak pernah mengalami kejadian mistis apa pun. Rumah Bude memang mencekam dan terkesan seram, tapi setelah berkali-kali menginap di sini, tak pernah satu kali pun aku berhadapan dengan sosok gaib yang ada dalam bayangan. Namun, aku yakin Diandra tidak mengada-ada—gadis itu terlalu serius sehingga membuat jebakan jahil seperti ini tidak ada dalam kamusnya. Kalau sosok barusan bukan Bude, lantas siapa?
Untuk mengetahuinya, aku harus memutar kenop pintu ini. Sekarang, atau tidak sama sekali. Setelah menghitung satu sampai tiga di dalam hati, dengan cepat kubuka daun pintu itu.
Pemandangan yang kudapati di sana selamanya tidak akan pernah hilang dari ingatan.
Seorang bayi botak yang bertelanjang dada tengah merangkak dari arah ruang keluarga yang berhadapan langsung dengan tempatku berdiri sambil masih memegang pintu. Ruangan yang hanya bercahaya remang, membuat wujudnya hanya menyerupai siluet semata. Bayi itu tertawa nyaring, sambil terus merangkak ke arahku, begitu cepat-seperti akan menerkam. Jantungku serasa jatuh dari rongganya saat teringat, rumah Bude seharusnya hanya berisi dua orang penghuni—Bude sendiri dan Diandra.
Kakiku seolah terpaku pada lantai, tak bisa digerakkan walau kepala telah memberikan sinyal untuk segera berlari. Dari arah dapur yang tampak lebih gelap lagi, sosok Bude yang mengenakan celemek berbalik menatapku dengan senyum yang tampak aneh. "Lho, gak jadi tidur, Nduk?"
Ia berjalan pelan menghampiri, masih dengan senyuman yang terlihat ganjil di mataku. Tanpa menghiraukan panggilannya, aku segera berlari ke luar, membawa serta dentaman isi dada yang tak karuan.
***
Akhirnya napasku habis tepat di depan sebuah restoran pizza di tikungan jalan besar, beberapa kilometer dari rumah Bude di Jalan Gandapura. Blouse merah yang kukenakan kini basah dan melekat pada tubuh. Aku menengok ke belakang. Syukurlah, tidak ada tanda-tanda Bude mengejar.
Aku ingin segera menelepon Ayah dan menceritakan kejadian tadi, lalu memaksanya untuk menjemput atau setidaknya memperbolehkanku membeli tiket pulang. Namun, baru kusadari napas ini masih bersahut-sahutan dengan cepat dan tak beraturan. Sepertinya aku harus beristirahat dulu. Dengan langkah gontai aku berjalan ke arah pintu masuk restoran pizza itu, saat aku tersadar hanya membawa ponsel di tangan, tanpa dompet mau pun tas.
"Sialan!" Aku merutuki kebodohan sendiri. Haruskah kembali lagi ke rumah Bude dan mengambil barang-barang yang tertinggal, atau setidaknya, dompet? Mendadak bulu kuduk berdiri memikirkan kemungkinan itu. Tidak, lebih baik aku mencari pilihan lain daripada harus uji nyali menghadapi makhluk-makhluk yang entah apa sebenarnya itu.
Petugas security di pintu masuk restoran itu memperhatikanku yang sedari tadi hanya berdiri termangu. Aku mencoba meraba saku celana kulot yang kukenakan. Seketika hati seolah diberi harapan, terasa dua lembar rupiah dalam genggaman. Dengan cepat aku mengeluarkannya. Ternyata masing-masing selembar sepuluh ribu dan dua puluh ribuan—kembalian dari tukang ojek yang tadi mengantar. Syukurlah, Tuhan masih sayang padaku.
Aku mengatur seulas senyum di wajah lusuh ini—ditujukan pada sang satpam yang masih memandangi—kemudian melanjutkan langkah dan memasuki restoran, merasakan sejuk sergapan AC pada tubuh yang kepanasan. Setelah mengambil posisi di kursi pojok ruangan, aku mengecek buku menu dan hati mencelos mendapati nyaris semua harga-harga makanan mau pun minuman di sini melebihi uang yang kumiliki.
KAMU SEDANG MEMBACA
Glitch
Science FictionGlitch (completed) ------------------------------------------------------- "Neo lagi apa, Yah? Aku mau bicara, dong." "Siapa?" "Neo. Udah bangun belum dia?" "Neo siapa, Lin?" Aku bersumpah jantungku berhenti berdetak selama beberapa detik. "Maksud...