"Ada apa, Lin? "
"Siapa mereka?"
"Kenapa kamu teriak-teriak?"
Berbarengan, Diandra, Lukas, dan Bio menghujaniku dengan pertanyaan.
Tersendat-sendat aku mencoba menjelaskan di sela-sela degup jantung yang masih tak beraturan. "Itu ... Tadi ... Diandra ..."
"Udah, udah. Mending kita masuk dulu aja. Gak enak juga ribut di sini." Diandra menuntunku ke arah pagar.
Aku mengedarkan pandangan ke sekitar dan baru menyadari bahwa beberapa warga setempat telah keluar dari pintu rumah mereka dan melongokan kepalanya ke arah kami. Ternyata, teriakanku tadi cukup keras sehingga mengundang perhatian mereka.
Kami lalu berjalan beriringan, kembali memasuki gedung laboratorium Rancabali. Diandra langsung membawakan segelas air putih dari dispenser di pantry.
"Alin, tadi itu siapa? Apa mereka ngeganggu kamu?" Lukas yang pertama membuka suara saat kami berempat telah duduk melingkar di karpet ruang tengah.
"Beruntung tadi kami lagi naik untuk istirahat. Kalau masih di bungker, mustahil bisa dengar suara teriakanmu, Lin." Bio menggeleng-gelengkan kepala.
Setelah menenggak isi gelas yang diulurkan Diandra, aku mulai bisa menjelaskan dengan lebih tenang. Suara ini masih sedikit bergetar tak karuan, tapi setidaknya dapat merangkai kalimat-kalimat lengkap. "Tadi aku butuh waktu sendiri dulu, karena habis denger suara adik dan ayahku jadi berasa sedih banget saat tahu gak bisa langsung ketemu mereka lagi."
Ketiganya mengangguk tak sabar, memintaku untuk melanjutkan.
"Pas udah ngerasa lebih baik dan lagi jalan turun ke laboratorium lagi, aku ngelihat sebuah motor lagi menuju ke arah yang sama. Pas udah agak deket, aku baru sadar..." Aku berhenti untuk menatap Lukas sejenak. "...mereka adalah orang yang sama dengan dua pengendara motor yang ngerusak ban motor kamu kemarin di stasiun."
Ekspresi terkejut yang ada pada wajah Lukas mungkin dapat mewakili betapa anehnya situasi yang kuceritakan ini, walau belum sampai pada tahap yang paling ganjil. "Emangnya kamu inget muka mereka? Kamu kan cuma lihat dari jauh. Lagipula, kok, mereka bisa ada di sini?"
Aku mengabaikan pertanyaannya untuk sementara. "Semakin dekat, aku sadar bahwa motor itu juga adalah motor yang sama dengan yang dipakai jambret yang tadi pagi nyerempet Diandra. Dan, salah satunya juga adalah orang yang sama yang pernah dorong aku sampai jatuh di pintu kereta waktu aku sampai di Jakarta kemarin pagi."
"Maksudmu, dua orang yang sama terus-terusan ngeganggu kita?" tanya Diandra dengan raut wajah kebingungan.
Melihat wajahnya, walau kali ini normal-normal saja, membuatku bergidik ngeri, teringat pemandangan yang baru saja kulihat di depan gedung tadi. Aku cepat-cepat mengalihkan pandangan, kembali menatap Lukas dan Bio secara bergantian. Sepertinya Diandra sendiri tidak menyadari kengerian yang terpancar pada wajahku, karena ia malah menyuruhku melanjutkan cerita.
"Iya, orang yang sama. Akhirnya aku manggil mereka. Mereka kaget banget dan salah satunya, yang perempuan, refleks ngalihin pandangan ke arahku. Jadi, aku bertatapan langsung dengan dia."
Menceritakan kembali adegan paling mengerikan seumur hidup ini membuatku ketakutan setengah mati. Rasanya seperti hampir ingin terkencing-kencing. Aku bahkan tak sanggup mendeksripsikannya.
"Lin?" panggil Bio, sepertinya cukup lama diri ini terdiam.
Aku memejamkan mata selama beberapa detik, mengumpulkan kekuatan. "Perempuan itu adalah Diandra."
Diandra, yang duduk di sampingku, menatap bingung dengan mulut setengah terbuka. "Gak mungkin, aku di sini dari tadi. Baru selesai pipis."
"Bukan, bukan kamu, Di!" teriakku histeris.
KAMU SEDANG MEMBACA
Glitch
Ficção CientíficaGlitch (completed) ------------------------------------------------------- "Neo lagi apa, Yah? Aku mau bicara, dong." "Siapa?" "Neo. Udah bangun belum dia?" "Neo siapa, Lin?" Aku bersumpah jantungku berhenti berdetak selama beberapa detik. "Maksud...