Sepasang pintu jati besar yang berukir di hadapanku terkesan angkuh. Tanaman merambat yang menghiasi tembok dan pilar di sekitarnya mungkin dimaksudkan sebagai dekorasi fasad rumah, yang mana bisa dibilang gagal total—bukannya memperindah, malah menghalangi jalan cahaya dan memperkuat kesan kelam dari rumah besar yang kental dengan nuansa Jawa itu.
Aku menghela napas dan sambil mengucap salam, mulai mengetuk pintu. Pintu segera dibuka dan sang pemilik rumah menyambut dengan gaun rumahan bermotif batik dan rambut tercepol rapi.
"Apa kabar, Sayang? Perjalanan lancar?" sapa wanita paruh baya yang adalah budeku itu.
Bude mempersilakan masuk. Saat memasuki ruang tamu yang gelap itu, hati mulai terasa tak nyaman, seperti setiap kali diri ini terpaksa memasukinya. Ya, terpaksa. Jika bukan karena Ayah yang memaksa untuk menemani Diandra, sepupuku satu-satunya di dunia yang merupakan anak tunggal dari Bude, mustahil aku rela menghabiskan waktu satu malam saja di rumah yang suram dan lebih cocok diisi oleh vampir ini.
Aku duduk di sofa kayu besar yang bersisian dengan lemari kaca yang mendominasi ruangan. Isinya? Jangan harap akan kau temukan foto-foto keluarga yang ceria. Lemari itu berisikan deretan wayang kulit yang-jujur saja-membuatku enggan berlama-lama menatapnya. Lebih baik, pura-pura tidak lihat saja.
Namun, harus ke mana mata mengalihkan pandangannya? Ke lukisan besar bermodelkan seorang wanita aneh, dengan kedua mata sipit putih asimetris yang seolah menyeringai penuh dendam? Lukisan itu bertengger di dinding utama, seolah berteriak minta diperhatikan. Aku merutuki diri yang biarpun sudah berulang kali berniat tidak akan melirik, tetap saja kedua mata ini selalu berhenti di sana. Tanpa sengaja memandangi, seolah ada magnet yang menarik pandanganku dari tatapan si wanita bermata putih.
Sesuatu terasa berbeda. Pada awalnya, aku tidak menyadari apa. Namun, diri ini cukup yakin ada yang tidak biasa pada lukisan itu. Entah pada matanya yang sipit, putih, dan tidak sejajar satu sama lain. Atau kulit mukanya yang pucat keabuan. Rambut tipis berminyaknya tetap terbagi dua. Senyum ganjil itu menampakkan gigi-gigi tidak rata yang—
Ah, ya! Gigi-gigi itu!
Aku tidak ingat pernah melihatnya. Kening ini mulai berkerut. Sebentar. Ya, aku yakin bahwa wanita dalam lukisan itu tidak tersenyum hingga menampakkan gigi terakhir kali melihatnya lima bulan yang lalu—dalam kunjungan liburan sekolah semester sebelumnya. Ia hanya sedikit menyunggingkan bibirnya. Aku ingat selalu berpikir senyum itu tampak sinis dan seperti memiliki maksud lain.
Lantas, mengapa ia kini menyeringai lebar hingga terlihat deretan gigi kekuningan yang menjijikan itu? Jangan-jangan...
Aku menggeleng-gelengkan kepala kuat-kuat, menghalau pemikiran menyeramkan yang baru saja terlintas. Mungkin saja aku hanya salah mengingat. Ya, pasti begitu. Atau Bude yang mengganti lukisan sebelumnya dengan lukisan lain yang hampir identik, hanya dengan perubahan kecil yaitu senyum sang wanita. Aku tahu itu adalah penjelasan yang hampir tidak masuk akal, tetapi biarlah benak ini berpura-pura mempercayainya.
Aaargh! Aku ingin pulang!
"Istirahat dulu sana, Nduk. Kamu pasti lelah setelah perjalanan jauh dari Jakarta." Bude salah mengartikan gemetarku.
Aku mengembuskan napas lega, tersadar sedari tadi telah menahan napas karena terhipnotis oleh ruang tamu Bude yang kelam, khususnya lukisan sang wanita aneh. "Oke, Nde."
Bude mengantarku ke pintu kamar putri semata wayangnya. Walaupun kosong karena sepupuku itu belum pulang kuliah, setidaknya kamar itu merupakan sebuah peningkatan drastis dibanding ruang tamu. Tidak ada lukisan wanita seram dan lemari besar berisikan koleksi wayang kulit. Setelah mengucapkan terimakasih, aku menutup pintu lalu merebahkan tubuh di ranjang seraya membuka ponsel.
Pesan WhatsApp yang muncul di deretan teratas membuat jantungku berhenti berdegup dan keringat dingin mengaliri dahi. Pengirimnya adalah Diandra, sepupuku, sang pemilik kamar.
[Lin, dari stasiun langsung ke RS Santosa aja ya, ambil kunci rumah di sini. Ibuku tadi pagi mendadak sakit, harus opname. Rumah kosong.]
Masih ada beberapa baris kalimat, tapi tak sanggup lagi kubaca. Terasa jemari menggenggam ponsel dengan begitu erat, hingga buku-bukunya memerah. Perlahan ujung mata ini melirik pintu kamar yang beberapa menit sebelumnya baru kututup.
Satu hal yang berkecamuk dalam benak. Siapa sosok yang mengantarku hingga ke pintu kamar tadi?
Dengan langkah gemetar, aku berjalan pelan menuju pintu itu. Kupegang kenopnya, tapi tidak langsung diputar. Berbagai pemikiran buruk dan mengerikan berkecamuk di dalam benak. Bagaimana jika yang ada di baliknya adalah sesosok wanita berambut panjang dengan gaun putih compang-camping yang kakinya tidak menapak bumi? Makhluk seperti itulah yang selalu muncul di film-film horror.
Namun, ini bukan film horror. Dan aku, mulai memutar pelan kenop pintu itu.
Apa yang kudapati di sana, selamanya tidak akan terlupakan. Seorang bayi botak yang bertelanjang dada tengah merangkak dari arah ruang keluarga yang berhadapan langsung dengan tempatku berdiri. Ruangan yang hanya bercahaya remang, membuat wujudnya hanya menyerupai siluet semata. Bayi itu tertawa nyaring, sambil terus merangkak ke arahku, begitu cepat-seperti akan menerkam. Jantungku serasa jatuh dari rongganya saat teringat, Diandra adalah anak semata wayang. Tidak ada bayi di rumah ini, seharusnya.
Kakiku seolah terpaku pada lantai, tak bisa digerakkan walau kepala telah memberikan sinyal untuk segera berlari. Dari arah dapur yang tampak lebih gelap lagi, sosok Bude yang mengenakan celemek berbalik menatapku dengan senyum yang tampak aneh. Senyum itu... lebih menyerupai seringai.
"Lho, gak jadi tidur, Nduk?"
Ia berjalan pelan menghampiri, dengan tatapan tajam yang juga terlihat ganjil di mataku. Tanpa menghiraukan panggilannya, aku segera berlari ke luar. Entah ke mana, asal enyah dari rumah ini.
***
Hai, readers!
Senang sekali akhirnya bisa upload cerita baru di wattpad. Well, sebenarnya bukan cerita baru, sih. Novel ini sudah kutulis sejak lebih dari tiga tahun yang lalu. Tapi, selalu maju-mundur setiap mau dipublish 😁Genrenya mystery & science fiction. Kalau baru baca prolog, mungkin terkesan seperti cerita horror biasa. Tapi, siap-siap ya, gak ada yang biasa dari keseluruhan cerita ini 😆 I promise you guys, this novel is worth your time.
So, enjoy! And don't forget to leave the star vote and comments 🥰
KAMU SEDANG MEMBACA
Glitch
Science FictionGlitch (completed) ------------------------------------------------------- "Neo lagi apa, Yah? Aku mau bicara, dong." "Siapa?" "Neo. Udah bangun belum dia?" "Neo siapa, Lin?" Aku bersumpah jantungku berhenti berdetak selama beberapa detik. "Maksud...