Chapter Nine: The Idea

238 43 3
                                    

Kafe bernuansa cokelat dan putih dengan tema rustic itu berhiaskan vas bening berisi bunga mawar merah di setiap mejanya. Jika suasananya lain, pasti akan menyenangkan menghabiskan waktu di tempat yang manis ini dengan seorang pemuda tampan dan gagah seperti Lukas. Aku menggeleng-gelengkan kepala, berusaha menyingkirkan pemikiran konyol itu sambil berharap wajah ini tidak bersemburat merah sebagai pertanda ketertarikan yang kuat pada pemuda di hadapan.

"Kenapa?" tanya Lukas sambil memandang heran.

"Enggak, semua informasi tadi bikin pusing." Aku memberikan jawaban palsu yang bukan sepenuhnya merupakan kebohongan.

Ia mengibaskan tangannya. "Jangan terlalu dipercaya. Aku udah bilang, kayaknya perkiraanku salah."

"Apa yang bikin kamu mikir gitu? Apa yang gagal?"

"Gantian kamu dulu yang cerita. Coba ceritain semua pengalaman kamu sejak awal ngerasa ada yang salah. Nanti, kita samain kejadian-kejadiannya. Siapa tahu ada benang merah yang bisa diambil untuk cari solusi."

"Oke. Pertama aku ngerasa ada yang salah adalah waktu sampai di rumah budeku .…" Cerita mengalir selama beberapa menit, berakhir pada bagian pertemuan dengan Netta dan informasi dari Bi Dedeh. 

"Serius? Kamu baru ngerasa aneh di rumah budemu? Coba inget-inget lagi. Pasti sebelum itu udah ada sesuatu."

Aku berpikir sejenak. "Bener juga. Setelah dipikirin lagi, aku jadi inget. Pertama ada yang aneh itu waktu aku muntah karena mabuk darat di toilet kereta. Aku sadar bayanganku beda. Tapi saat itu aku anggap cuma efek dari mabuk darat aja."

"Ya, di kereta itu aku juga tiba-tiba mual walau gak sampai muntah. Dan begitu cek HP untuk lihat jam, aku hampir banting HP-nya saat lihat bayangan muka ini. "

"Mukamu berubah juga?" 

Alih-alih menjawab, ia menunjuk wajahnya sendiri. "Kamu lihat ini? Cambang dan jenggot ini?" Melihat aku mengangguk, ia melanjutkan, "Aku gak pernah pelihara berewok. Paling banter juga cuma kumis tipis. Bayangin betapa kagetnya aku waktu ngelihat ada Wolverine dan bukannya bayanganku sendiri."

Mau tak mau aku tertawa. Deskripsinya sama persis dengan penilaianku padanya saat baru berkenalan tadi, bahkan ia menyebutkan nama pahlawan super favorit yang juga ada dalam pikiranku. "Lanjut. Giliran kamu cerita."

Maka Lukas memulai ceritanya. Ternyata selain wajah yang berubah, ia juga menyadari telah mengenakan pakaian yang berbeda. Seharusnya ia mengenakan setelan jas lengkap dengan dalaman kemeja dan dasi serta sepatu kulit mengilat, berganti menjadi kaus oblong, celana denim lusuh, dan sepatu kets penuh tambalan. Lukas adalah warga asli Jakarta yang merupakan lulusan salah satu universitas negeri terkenal di Bandung dan telah bekerja di perusahaan telekomunikasi besar. Ia baru saja menghabiskan akhir pekan di ibu kota dengan kawan-kawannya dan kembali ke Bandung tiga hari lalu untuk kembali bekerja.

Saat tersadar penampilannya telah berubah, ia tetap melanjutkan perjalanan sampai di kantornya di Jalan Japati. Namun, tak satupun pegawai di sana mengenalnya. Bahkan, salah seorang rekan satu divisinya yang bersebelahan kubikal memanggil petugas keamanan saat Lukas dengan panik memperkenalkan diri dan mengatakan ia adalah salah satu dari mereka. Tak habis pikir, Lukas meminta mereka mengecek website perusahaan untuk memastikan ada namanya di jajaran karyawan. Penuh horor, ia mendapati namanya tidak ada di sana.

"Dengan bingung aku pulang ke kosan. Ibu Kos yang biasanya ramah, berubah jadi jutek. Akhirnya teman sebelah kamar—yang untungnya masih sama—ngasih tahu bahwa aku bukan pegawai Telkom. Aku belum lulus dari Unpad setelah lima tahun kuliah. Jadi, ternyata aku balik ke Bandung buat kuliah, bukan kerja. Lukas di dunia ini kayaknya seorang pecundang, aku mengecek IPK-nya dan ternyata di bawah angka tiga. Oh, dan ternyata Ibu Kos jutek karena aku sering nunggak uang sewa."

GlitchTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang