Chapter Ten: The Round-trip Experiment

219 40 4
                                    

Empat hari terakhir terasa tidak nyata. Hidupku yang selama ini nyaman dengan pembagian waktu antara OSIS dan belajar sebagai masalah terberat, tiba-tiba berubah drastis. Rasanya seperti berubah menjadi Dorothy dalam dongeng 'The Wizard of Oz' atau Alice dalam 'Alice in Wonderland' yang terlempar ke dunia ajaib. Seperti sedang berlari maraton tapi tak kunjung usai dan garis akhirnya tak terlihat. Jika berhenti sejenak, aku akan menyadari bahwa apa yang tengah kulakukan sekarang benar-benar diluar nalar—melakukan perjalanan bolak-balik Jakarta-Bandung dua kali dalam satu hari dengan seorang lelaki yang baru kukenal. Namun, entah mengapa situasi ganjil ini terasa normal-normal saja saat dijalani bersama Lukas.

Jika kami bertemu dalam keadaan yang berbeda, kemungkinan besar aku akan jatuh hati padanya. Bukan berarti sekarang aku tidak merasakan desiran di dada setiap kali pemuda itu menatap langsung ke mataku. Kepribadiannya yang mudah akrab, wawasan yang luas, dan referensi film yang segudang membuatku semakin mengaguminya. Sebuah rasa perih yang menusuk muncul di hati, saat mengingat bahwa ketika kembali ke kehidupan asal nanti, mungkin aku tak akan berhubungan lagi dengan Lukas. Hidup ini akan kembali normal, aku sebagai siswi SMA biasa, dan Lukas sebagai karyawan BUMN ternama.

Terlihat pemuda itu berjalan dari kejauhan dengan dua tiket di tangan kanannya. Ia bersikeras membelinya kali ini setelah tadi aku yang membeli tiket perjalanan ke Jakarta. Sejujurnya, aku tidak peduli. Perjalanan ini harus berhasil sehingga rasanya jumlah uang saku yang menipis tidak lagi relevan. Begitu pun omelan Ayah jika mendapati aku belum sampai di rumah Bude. Sejak sampai di Bandung hampir tujuh jam yang lalu, aku telah mematikan ponsel, agar Ayah, Bude ataupun Diandra tidak bisa menghubungi. Aku tidak menginginkan gangguan apapun. Misi ini jauh lebih penting.

"Dua puluh menit lagi." Lukas menyerahkan satu di antara dua lembar tiket di tangannya. "Ayo kita ke tempat parkir."

Aku menerima potongan kertas itu, jadwal keberangkatannya adalah pukul lima sore. "Ngapain ke tempat parkir? Mendingan kita ke kantin. Belum makan siang, lho."

"Aku punya ide. Ayo, ikut aja dulu. Soal makan beli roti aja dan makan di dalem kereta. Kita gak bisa buang-buang waktu."

Ide apa lagi yang dimilikinya, aku tak tahu. Toh kedua kaki ini tetap melangkah mengikuti pemuda yang telah berjalan terlebih dahulu dengan tergesa-gesa itu.

Pelataran parkir Stasiun Gambir begitu besar, jauh lebih besar daripada area parkir Stasiun Bandung yang rasanya belum lama tadi kami tinggalkan. Aku melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangan kiri. "Ngapain di sini? Tujuh belas menit lagi kereta berangkat."

"Tubuh yang capek bakal lebih mudah lelah. Kalau lelah bakal lebih mudah ngantuk. Ayo lari sebanyak mungkin di sini selama lima belas menit, lalu lari ke gerbang check-in. Di dalam gerbong, kita tinggal makan roti dan minum obat tidur lagi. Aku jamin kali ini berhasil," jelasnya sambil mengacungkan sebuah kantong plastik putih berisi roti empuk ber-topping kopi yang menjadi ciri khas kudapan stasiun kereta, rupanya ia telah menyiapkan segalanya.

Tidak ada ruginya menyetujui rencana itu. Sejurus kemudian aku telah mengambil ancang-ancang untuk berlari bolak-balik di antara deretan mobil yang terparkir rapi.

Lukas lebih dulu melesat, meninggalkanku yang bengong sesaat. Aku merutuki diri sendiri yang entah sedang menunggu apa, siapa pula yang akan meniup peluit tanda lomba lari akan segera dimulai? Ini bahkan bukan lomba. Setelah terlebih dahulu mengikat rambutku ke dalam cepol asal, aku mulai ikut berlari.

Flat shoes tipis yang kukenakan bukanlah alas kaki terbaik untuk berlari. Terlebih, tidak ada kaus kaki yang melapisi jari-jariku di dalamnya. Jemari dan telapak kakiku mulai terasa sedikit perih, aku tidak akan kaget jika menemukan lecet-lecet kemerahan di sana. Namun, aku terus berlari.

GlitchTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang