Chapter Eleven: The Cousin

216 39 12
                                    

Beberapa pertanyaan untuk Diandra berkecamuk dalam kepala, tapi karena gadis itu terus bungkam dengan tangan pada kemudi dan mata berkonsentrasi pada jalanan, maka aku hanya diam. Atau mungkin, memang diri ini terlalu lelah hingga bercakap-cakap bukanlah hal yang ingin kulakukan. Saat tadi Diandra memperkenalkan diri pada Lukas sebagai sepupuku dan mengajak pulang, separuh hati merasa lega karena memang sedang tidak ingin melanjutkan diskusi melelahkan dengannya. Pemuda itu menolak tawaran Diandra untuk mengantarnya pulang ke rumah kos di kawasan Dipatiukur dan lebih memilih mencari bengkel dua puluh empat jam atau pulang dengan ojek online. Sesaat sebelum berpisah, ia berkata akan menghubungiku lagi besok.

“Tadi sore Om telepon dan tanya apa kamu udah sampai dan apa kita jadi main ke Trans Studio.” Diandra akhirnya memecahkan keheningan. Gadis itu mengatakannya dengan datar tapi mampu membuatku menengok begitu cepat hingga leher terasa keram. “Tenang aja, aku bilang kamu lagi antre beli cemilan dan HP-mu mati karena terlalu asyik ngerekam video waktu naik rollercoaster.”

Aku begitu terkejut hingga membiarkan mulut ini menganga lebar selama beberapa detik. Diandra berbohong untuk melindungiku? “Tapi, kenapa?”

“Karena aku tahu apa yang sedang terjadi sama kamu,” jawabnya masih dengan intonasi yang sama. “Dan aku bisa bantu. Makanya aku terus coba telepon kamu."

"Kamu tahu …?" Demi Tuhan, mengapa aku tidak pernah bisa mengimbangi arah pembicaraan dan selalu bersikap bodoh setiap kali berhadapan dengan Diandra? 

Ia menanggapi dengan sebuah anggukan singkat. "Yang tadi itu siapa?" 

"Dia orang yang senasib denganku, tadi kami …" Aku menggelengkan kepala, menyadari ada sesuatu yang lebih penting untuk dibahas. "Tadi katamu, kamu tahu apa yang lagi aku alami?" 

"Ya." Dari gaya bicaranya yang tidak berubah sama sekali, kami bisa saja sedang membicarakan hal-hal sepele seperti restoran baru di tikungan jalan atau apapun itu, bukannya kekacauan alam semesta.

"Kamu yakin?" 

"Kesadaranmu melintasi perbatasan antar semesta sejajar dan sekarang menetap di tubuh yang salah." 

Aku menatapnya dengan mulut setengah terbuka. Rasanya sangat aneh, membicarakan hal ini dengan Diandra. Diandra, yang dalam tujuh belas tahun kukenal sebagai sepupu, tidak pernah sekalipun berbicara lebih dari satu atau dua potong kalimat basa-basi kaku. Biarpun begitu, apa yang dikatakannya tadi adalah persis sebuah kesimpulan sederhana dari penjelasan panjang lebar yang Lukas jabarkan siang tadi.

Ternyata teori yang dikatakan Lukas benar adanya. Atau setidaknya, Diandra juga mempercayai teori yang sama. Namun, mendengarnya dari mulut Diandra terasa berbeda—seperti suatu hal yang pasti dan bukan hanya menerka-nerka. Ia terdengar yakin, percaya diri, dan lugas. Sangat khas Diandra.

Aku menelan ludah. "Kamu tahu dari mana?" 

"Dari awal aku udah curiga, tapi belum yakin karena rasanya gak mungkin. Kemarin waktu berita tentang itu mulai viral di media, aku baru sadar sesuatu betul-betul sedang terjadi. Kamu bukan berasal dari sini, yang satu itu fakta."

Aku meliriknya. Ia ada di sini dan terasa begitu nyata, tapi seluruh bulu kuduk berdiri saat menyadari ia sama sekali bukan Diandra—bukan Diandra yang kukenal selama ini. Hanya orang asing yang kebetulan saja memiliki wujud yang sama. Aku merasakan sebuah serangan petir yang maha dahsyat walau di luar malam cukup cerah, saat tersadar begitu pun dengan semua orang yang berinteraksi denganku selama ini—Ayah, Bi Dedeh, Bude, Pakde, dan Netta. Ternyata aku tidak sepenuhnya salah saat lari ketakutan dan menyangka wanita yang menyambutku empat hari lalu bukanlah Bude, ia memang bukan Bude. 

Kecuali Lukas. Ya, ia adalah satu-satunya orang yang nyata bagiku di dunia ini. Ironis, lelaki asing yang belum genap satu hari kukenal justru adalah satu-satunya orang yang benar-benar adalah teman.

GlitchTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang