Epilog

443 63 43
                                    

20 Juli 2029

Kopi hitam yang menemani sore hariku tinggal tersisa setengah cangkir. Panasnya pun sudah berubah menjadi suam-suam kuku. Tanggal dua puluh di bulan Juli selalu menjadi hari yang membuatku merenungkan kesalahan-kesalahan masa lalu. Seperti misalnya, merasa terlalu pintar hingga mengira bisa menggenggam dunia. Merasa terlalu hebat, hingga mengira dapat menaklukan alam semesta. Hari ini adalah hari yang tepat bagi manusia gagal sepertiku untuk merasa sedih, marah, dan merutuki diri sendiri.

Biasanya, aku menghabiskan hari ini dengan dua sahabatku, Bio dan Lukas. Namun, kali ini mereka sama-sama berhalangan. Dua lelaki itu telah memiliki kehidupan masing-masing. Mungkin, hanya akulah satu-satunya orang yang masih menyesali dan meratapi kesalahan yang kami buat sepuluh tahun silam. Kesalahan besar yang bukan hanya menghancurkan masa depan kami bertiga, tapi juga menewaskan sepupu sekaligus sahabatku, Joshaline.

Mesin kuantum yang kami ciptakan dianggap mesin gagal yang berbahaya. Padahal, nyatanya mesin itu dapat berfungsi dengan sempurna. Andai saat itu aku tidak terlalu ambisius hingga enggan menyerah untuk membuktikan fungsi dari ciptaan kami tersebut. Andai saja, sejak awal aku tidak mencoba ikut campur dan membiarkan Alin tetap tersesat di semesta ini. Andai saja, kami tidak salah menafsirkan kalimat peringatan akan bahaya yang pada saat itu tidak dapat diselesaikan oleh diriku dari masa depan.

Bahwa bukan eksperimen ataupun mesinnya yang berbahaya, melainkan justru berhasilnya Alin untuk sampai di semesta asalnya. Semesta di mana versi lain dari dirinya sudah tak lagi ada.

Satu jam setelah untuk terakhir kalinya mengirim Alin ke semesta lain menggunakan Time Turner, kami mendapati tubuhnya tidak bergerak sama sekali meskipun telah kami tarik kembali. Saat itu juga, satu per satu fakta yang ada terungkap di dalam kepala ini, di balik nanar kedua mata yang menatap tubuhnya yang tak bernyawa.

Lukas dan Bio masih berusaha membangunkan Alin, memompa dadanya, bahkan memberi napas buatan. Sementara aku hanya mematung penuh horor, tahu apa yang mereka lakukan percuma. Semuanya tiba-tiba saja menjadi begitu jelas dan masuk akal bagiku saat itu. Membuatku merutuki diri sendiri karena begitu bodoh, begitu ceroboh, hingga tidak mempertimbangkan kemungkinan yang satu itu. Bahwa di semesta asalnya, kecelakaan kereta itu telah menewaskan Alin. Alin yang tertukar dan tewas di semesta yang salah beberapa menit kemudian.

Mesin ciptaanku memang tidak menewaskan Alin. Kebodohan dan kenaifanku sebagai remajalah yang melakukannya. Namun, siapa yang akan mempercayai kata-kata tiga orang narapidana yang kedapatan membobol rumah orang tuanya sendiri dengan mesin ilegal yang dianggap berbahaya dan mengancam nyawa? Tidak ada. Maka Time Turner diserahkan pada pihak berwajib dan kemudian dihancurkan hingga menjadi puing-puing tak berarti.

Seharusnya, hukuman selama lima tahun dapat membuat kami jera. Namun, nyatanya saat keluar dari penjara lima tahun lalu, sekali lagi kami mencoba peruntungan dalam mengubah nasib dengan mengembara ke masa lalu. Kemudian, lagi-lagi gagal. Hingga akhirnya, aku tersadar bahwa sepintar apa pun kami, secanggih apa pun mesin yang berhasil kami ciptakan, kami tetap tidak akan pernah berhasil mengubah sesuatu yang telah digariskan oleh Tuhan.

***

Dear, readers,

Terima kasih sudah membaca kisah ini sampai akhir. Aku harap Glitch merupakan pengalaman yang menyenangkan bagi semua pembacanya. Sebagai penulis pemula, yang sama sekali belum mendapatkan keuntungan finansial apa pun dari pekerjaan ini, aku sungguh mengharapkan feedback dari kalian sebagai penyemangat agar aku dapat terus menulis dan menyuguhkan hiburan berkualitas bagi generasi yang kini makin jarang membaca.

So, please, please! If you have the time, please write a review on how you think of the story. It would mean A LOT.

THANK YOU!

GlitchTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang