Aku berdecak kesal, tidak mengerti apa yang membuat Lukas tiba-tiba bersikap penuh ragu dan curiga seperti sekarang ini. Ia masih menatapku dengan pandangan khawatir, sesekali menggigit-gigit bibir dan menggaruk rambut gondrongnya. Tadi, Lukas meminta waktu untuk berdiskusi empat mata terlebih dahulu, maka kami keluar dari laboratorium dan kini tengah berdebat sengit tepat di balik pintu menuju bungker.
"Pikirin dulu, seenggaknya semalam lagi."
"Apaan, sih? Udah jelas-jelas sekarang ada solusinya di depan mata. Kenapa mesti ditunda-tunda? Aku pengen pulang!"
"Lin, kamu gak tau apa itu aman atau nggak!"
"Kelinci-kelinci itu sehat-sehat aja. Gak lantas jadi sakit atau apa. Berarti aman, dong?"
"Kelinci bisa ngomong, gak?"
Aku mendesah. "Kalau sakit atau ada sesuatu yang salah, gak usah bisa ngomong pun Di atau Bio pasti tahu--"
"Bukan itu maksudnya," potong Lukas, "apa buktinya bahwa kelinci-kelinci itu datang dari universe lain? Apa mereka bisa ngomong, 'Hei, gue bukan berasal dari dunia ini loh!'? Gak bisa kan? Diandra dan teman-temannya ngambil kesimpulan begitu cuma karena bukti-bukti kecil yang gak pasti dan karena mereka ini adalah orang-orang yang terlalu terobsesi sama ilmu fisika kuantum. Gak ada bukti real-nya, Lin!"
Kami berbincang dengan suara pelan tapi penuh penekanan, karena khawatir Diandra atau Bio ikut mendengar dari dalam ruangan. Aku berlagak mencak-mencak walaupun tak bisa kupungkiri, sebagian dari diri ini merasa senang dengan kepedulian Lukas.
"Terus, menurut kamu selera makanan yang berubah itu apa? Sifat yang tiba-tiba jinak? Itu bukan bukti?"
Lukas menghela napas. "Apa buktinya itu terjadi karena si kelinci berpindah semesta? Kita gak tahu apa-apa, Lin. Bisa aja mesin waktu itu merubah objeknya dengan cara yang kita gak tahu. Amit-amitnya, gimana kalau aku masuk kesana lalu tiga detik kemudian berubah jadi banci?"
Perumpamaan itu membuatku mau tak mau tertawa tertahan. "Enggaklah, Luk. Aku percaya sama Di, gak mungkin dia bikin kesimpulan kalau belum yakin betul."
"Bio aja tadi bilang kamu harus terima segala resikonya."
"Ya iya, emang bener. Dan aku mau terima. Yang penting ada cara untuk aku pulang. Untuk kita pulang, Luk."
"Kamu emang keras kepala."
"Bagus, kalau lembek kepala ngeri dong kayak squishy," candaku demi mencairkan suasana.
"Squishy? Apaan tuh?"
"Ah, dasar tua. Udahlah, yuk masuk." Aku menunduk untuk membuka pintu bungker. Gerakan itu terhenti karena Lukas menahan tanganku, meremas bagian belakang telapak tangan yang telah menggenggam gagang pintu bungker. Sentuhan itu membuat kulit ini merasakan sensasi tersengat.
"Kamu yakin?" tanyanya, tetap pelan, tetapi kini dengan intonasi yang lebih dalam.
"Seratus persen. Serius, Luk, kita harus berani ambil resiko. Kalau tiga detik kemudian berubah jadi bencong pun aku rela demi upaya ketemu Neo lagi."
Lukas tidak tertawa dengan kelakar itu, ia menatapku dalam. "Oke, kalau gitu biar aku aja yang coba mesin itu."
"Loh? Kok? Kenapa?" tanyaku beruntun.
"Aku gak bisa ngebiarin kamu lebih dulu menghadang resiko itu, Lin."
Jujur saja, jawaban itu menimbulkan desiran hangat di tubuh ini. Belum lagi, jemarinya masih bertumpu di atas jemariku sendiri. Sebagian dari diriku ingin tersipu, tersenyum manis lalu mengiyakan tawarannya. Namun, ini bukan saat yang tepat untuk bermain perasaan. Ada hal lain yang jauh lebih penting.
KAMU SEDANG MEMBACA
Glitch
Science FictionGlitch (completed) ------------------------------------------------------- "Neo lagi apa, Yah? Aku mau bicara, dong." "Siapa?" "Neo. Udah bangun belum dia?" "Neo siapa, Lin?" Aku bersumpah jantungku berhenti berdetak selama beberapa detik. "Maksud...