Hal selanjutnya yang kurasakan adalah sensasi melompat dibarengi kantuk yang tiba-tiba saja menyerang. Lalu, sebuah kekuatan yang luar biasa seolah menarik tubuhku ke dalam lorong hitam dengan cahaya-cahaya yang bergerak begitu cepat. Tubuh ini berputar dan terasa seperti dipelintir saat melaju cepat di dalamnya.
Dalam beberapa detik saja, aku mendarat di tabung kaca dengan ranjang putih di dalamnya. Yang kurasakan selanjutnya adalah rasa pening dan mual luar biasa yang menyerang secara bersamaan. Hampir seperti mabuk laut, hanya saja beberapa tingkat lebih parah—aku benar-benar merasa bisa mengeluarkan seluruh isi perut ini sekarang juga. Selain itu, kantuk yang sepertinya masih merupakan efek dari obat tidur yang kuhirup satu jam lalu juga masih sulit sekali di lawan. Aku memutuskan untuk tetap berbaring selama beberapa saat.
Rasanya baru saja aku terlelap saat terdengar suara Lukas yang memanggil namaku pelan sambil mengetuk dinding tabung kaca. "Alin, Alin!"
Otomatis aku mencoba duduk, tapi kemudian kepalaku terantuk pada dinding tabung di bagian atas. Tabung ini ternyata tidak cukup lebar untuk memuat objeknya dalam posisi lain selain terbaring. Maka, aku mencoba merayap keluar dan segera dibantu oleh Diandra yang telah menunggu di pintu tabung.
Tanpa aba-aba, segera setelah berhasil menegakan tubuh, aku mengosongkan isi lambung ini melalui beberapa ronde muntahan yang sama sekali tidak bisa ditahan. Berkali-kali lipat dari muntah di toilet kereta beberapa hari lalu, saat semua kekacauan ini baru saja dimulai. Aku terus muntah hingga hanya cairan bening yang keluar dan akhirnya rasa mual itu habis tak bersisa.
Setelahnya, aku mengusap mulut dengan lengan baju, dan bernapas tersendat-sendat seraya mengedarkan pandangan pada Diandra, Lukas, dan Bio. "Maaf."
"Sini, duduk dulu." Diandra menuntunku ke kursi di meja panjang tempat kami bercakap-cakap satu jam yang lalu. Rasanya seperti sudah lama sekali.
Bio naik ke atas bungker lalu kembali tak lama kemudian dengan peralatan pel. Merasa tak enak hati, aku segera berdiri. "Biar aku aja, Bi."
"Jangan aneh-aneh deh, Lin." Bio menampik tawaran itu. "Udah lu duduk aja."
Sementara, Lukas menyodorkan gelas berisi teh manis hangat. Aku segera menerima dan meneguknya sampai habis. Cairan itu berhasil membuatku merasa sedikit lebih baik. Diandra dan Lukas memandangiku penuh cemas.
"Aku baik-baik aja. Gak apa-apa, kok." Aku mencoba menenangkan mereka.
"Gak usah maksain diri buat langsung cerita, pasti kamu pusing banget. Logikanya, saat gak sengaja terlempar di terowongan itu aja, kita mual banget sampai kamu muntah, kan? Apalagi sekarang, kamu sengaja dilempar. Tenangin diri dulu aja, kita siap nunggu, kok." Lukas berkata pelan sambil mengambil kembali gelas kosong di tanganku. "Mau diisi lagi?"
"Mau," jawabku. "Tolong, ya."
Lukas segera beranjak ke meja kecil di dekat tangga, rupanya di sana telah ada teko kecil juga beberapa kudapan yang sepertinya disiapkan saat aku belum datang tadi. Ia memang berkata aku tidak perlu langsung menceritakan semuanya, kepala pun masih terasa luar biasa sakit, seperti dipukuli palu. Namun, aku tak bisa menahan diri lagi.
"Aku tadi berhasil pindah semesta. Tapi ternyata itu masih semesta yang salah." Tak urung suaraku bergetar saat mengucapkannya.
"Sebentar, sebentar," sahut Diandra pelan seraya menepuk-nepuk lenganku, mencoba menenangkan. "Setelah menaiki mesin kuantum, gak heran kalau energimu terkuras habis dan ngerasa jetlag. Mendingan kamu ke toilet dulu buat cuci muka, atau sekedar duduk sebentar biar lebih tenang."
Mendengar itu, aku baru menyadari bahwa napas ini masih megap-megap dan, ya, membasuh diri dengan air segar akan cukup membantu. Maka, aku mengangguk dan bangkit berdiri. Setelah menolak tawaran Lukas untuk mengantar, aku beranjak ke tangga dan naik ke atas bungker.
KAMU SEDANG MEMBACA
Glitch
Science-FictionGlitch (completed) ------------------------------------------------------- "Neo lagi apa, Yah? Aku mau bicara, dong." "Siapa?" "Neo. Udah bangun belum dia?" "Neo siapa, Lin?" Aku bersumpah jantungku berhenti berdetak selama beberapa detik. "Maksud...