Rasanya aku seperti sedang berada di dalam seri novel detektif yang sering kubaca di masa kecil, berhadapan dengan sebuah pintu ke ruang bawah tanah rahasia untuk menyelesaikan misi misteri yang menyangkut keselamatan umat manusia. Bedanya, novel detektif itu sepenuhnya fiksi. Sementara, sayangnya, apa yang sedang kujalani sekarang nyata adanya.
Bio berjongkok dan memasukan salah satu anak kunci dari set kunci yang digenggaman. Pintu itu terbuka dibarengi suara berderit keras. Tepian pintunya tersambung langsung ke puncak tangga yang tampaknya akan membawa kami ke bawah, ke ruangan misterius yang sejak tadi dibicarakan dalam percakapan berbisik-bisik oleh Diandra dan Bio. Selain puncak anak tangga tersebut, tak ada lagi yang dapat terlihat karena ruangan itu sepenuhnya gelap.
"Sebentar, gue dulu," sahut Bio mendahului Diandra memasuki pintu itu dan menuruni tangga. Tubuhnya yang tambun nyaris membuatku berpikir ia tidak akan bisa melalui pintu kecil itu, tapi nyatanya pemuda itu dapat masuk dengan mudah, sambil sedikit memiringkan tubuhnya.
Tak lama kemudian, cahaya terang menyeruak dari bawah sana, tanda Bio telah menyalakan lampu. Diandra segera menyusulnya, menuruni tangga dengan posisi tubuh berbalik menghadap aku dan Lukas yang masih menunggu giliran di daun pintu.
"Aku dulu, ya," ucapku pada Lukas setelah Diandra turun cukup jauh.
"Hati-hati, tubuhmu agak gemetar."
Saat mendengarnya, aku baru menyadari bahwa ia benar. Kedua kaki dan tanganku gemetar tak karuan, mungkin karena rasa tak sabar dan ingin tahu yang begitu kuat.
"O-oke," jawabku sedikit terbata.
Aku mulai melangkahkan kakiku menuruni anak tangga satu per satu. Segera setelah kepala ini sampai di bagian bawah pintu, aku terkesima menatap keadaan ruangan di sekelilingku. Ruangan itu terang benderang dan bernuansa putih abu. Lima set komputer dengan layar besar bersebelahan dan menempel di salah satu dindingnya, pada dinding lainnya terdapat sebuah mesin yang berbentuk seperti lemari besar tapi memiliki layar di setiap pintunya. Di tengah-tengah ruangan yang luasnya mungkin mencapai 10 x 10 meter ini, terdapat sebuah meja panjang dengan kira-kira satu lusin kursi menghadap ke suatu papan dengan tempelan kertas dan sebuah papan tulis putih dengan banyak coretan angka yang tentunya tidak dapat kumengerti.
Tepat di atas papan tulis, sebuah jam digital hitam besar yang lengkap menampilkan tanggal, hari dan jam dalam huruf dan angka merah terang menempel di dinding dengan angkuh. Di belakang meja itu, masih berada di tengah ruangan, sebuah mesin berbentuk tabung besar terbaring mendominasi seluruh isi ruangan. Bentuk mesin itu hampir menyerupai mesin CT Scan yang biasa ditampilkan di sinetron televisi hanya saja terlihat jauh lebih kompleks, dengan sebuah komputer ber-keyboard raksasa menempel pada bagian sisinya.
"Yang terakhir turun, sambil tutup pintu ya!" teriakan Diandra menyadarkanku bahwa aku telah sampai di anak tangga terakhir.
Aku melangkahkan kaki untuk pertama kali ke lantai laboratorium yang mencengangkan ini, lalu mulai melangkah. Menyentuh apapun yang terlihat dengan terkagum-kagum. Ini bahkan lebih hebat daripada bayangan laboratorium yang ada di kepalaku, jauh lebih … nyata.
Diandra dan Bio tengah berdiri di depan papan tulis besar penuh coretan yang kemungkinan besar adalah hasil coretan salah satu dari mereka sendiri. Mereka bercakap-cakap pelan sambil sesekali menunjuk angka-angka yang ada di sana.
"Wow!" Lukas menyuarakan kekagumannya sambil—sepertiku—berkeliling dan berdecak terkesima.
Diandra dan Bio berbalik dari papan tulis yang sejak tadi mencuri perhatian mereka, seolah baru menyadari kehadiran kami.
"Ayo, guys, duduk. Silakan, santai aja. Mungkin ruangan ini terkesan agak kaku dan seram karena banyak benda asing, tapi tenang aja, sebentar lagi gue bakal jelasin segala hal yang perlu kalian mengerti." Bio mempersilakan kami untuk duduk di kursi-kursi di balik meja panjang, ia sendiri mengambil salah satu kursi itu dan mengambil posisi di hadapan kami.
KAMU SEDANG MEMBACA
Glitch
Science FictionGlitch (completed) ------------------------------------------------------- "Neo lagi apa, Yah? Aku mau bicara, dong." "Siapa?" "Neo. Udah bangun belum dia?" "Neo siapa, Lin?" Aku bersumpah jantungku berhenti berdetak selama beberapa detik. "Maksud...