Chapter Eighteen: The Quantum Alley

185 33 0
                                    

Matanya yang membelalak liar penuh ketakutan menatapku tajam. Sambil mencengkeram pundak ini dengan begitu keras, ia berkata, "Hentikan apa yang sedang kalian lakukan, atau—"

"Lin, Alin!" Suara perempuan yang sama membangunkanku. Tubuh ini langsung terduduk tegak. Jantung masih berdegup kencang, teringat mimpi yang baru saja hingga di kepala.

Aku menoleh dan mendapati Diandra telah berpakaian lengkap dan tengah berdiri di samping kasur. Memang perempuan yang sama, hanya saja jauh lebih muda.

"Bangun, udah hampir jam enam. Kita harus pergi ke lab lagi sepagi mungkin." Ia melanjutkan.

"Oke, oke." Aku segera bangkit dan pergi ke kamar mandi.

Di bawah pancuran air, tubuh ini bergidik kendatipun air yang mengalir bersuhu hangat dan mengepulkan uap panas. Itu karena kalimat menggantung Diandra B yang terus terngiang-ngiang di telinga ini, bahkan hingga terbawa ke alam mimpi. Aku tidak lagi membahasnya pada Diandra atau yang lain. Jangan sampai mereka enggan melanjutkan rencana percobaan mencari semesta dengan TT hanya karena kecemasan berlebihan ini.

"Hentikan apa yang sedang kalian lakukan, atau—"

Apa? Atau apa? Andai ada cara untuk berkomunikasi dengannya, kami bisa memastikan apa yang begitu ia takutkan hingga rela mengambil resiko untuk mengembara dalam waktu. Sayangnya, tidak ada, dan yang bisa kami lakukan hanya menerka-nerka.

Aku menyudahi mandi pagi itu lalu mengenakan pakaian membosankan lainnya dari koper milik Joshaline B. Usul Bio untuk menyebut Diandra versi tua dengan sebutan Diandra B ternyata cukup nyaman dan bisa aku aplikasikan pula untuk entitas diriku yang lain. Jauh lebih nyaman menyebutnya dengan sebutan 'Joshaline B' dibanding 'Joshaline Dari Semesta Lain'.

"Alin, ayo sarapan dulu!" Terdengar panggilan Bude dari arah dapur.

Aku bergegas keluar setelah sebelumnya mengulaskan lipbalm stoberi di bibir pucat ini. Diandra telah duduk di meja makan bersama Bude, Pakde, dan Derrel. Sarapan pagi itu yang berupa telur orak arik keju dan sosis goreng serta segelas jus jambu. Dalam beberapa menit saja, hidangan itu masuk ke dalam perutku yang kelaparan berbarengan dengan saus tomat dalam jumlah yang banyak. Maklum, seharian kemarin, kami hanya menyantap mie instan di laboratorium Rancabali.

"Lahap banget, Nduk. Tambah lagi, Sayang." Bude menyendokkan beberapa potong sosis tambahan.

Aku tak kuasa menolak. "Hehe, makasih, Nde."

"Kemarin betah, ya, di kampus Di? Pulangnya sampai malem gitu," komentar Pakde yang tengah menikmati secangkir kopi hitam panas.

Aku nyaris tersedak sosis sapi yang gurih itu, tak kuasa menjawab. "Hmmm ...."

Beruntung Diandra selalu lebih cerdas dan mampu bersikap tenang. "Betah banget dia, Bu. Aku ajak ke sekre HMTF. Dia kenalan sama Bio juga."

"Wah, bagus itu. Biar tahun depan kamu sudah terbiasa. Mudah-mudahan bisa masuk ITB juga, ya, Nduk," ucapnya sambil menyuapi Derrel yang duduk di kursi bayi. "Kalau nanti ketemu lagi sama Bio, bilangin dapet salam dari Ibu. Udah lama banget anak gembil itu gak main ke rumah." Kalimat itu ditujukan untuk Diandra.

"Sekarang juga mau ketemu lagi, Bu. Nanti Di sampaikan salamnya."

"Kamu ini kebiasaan. Sabtu juga tetep pergi ke kampus. Sesibuk apa sih kuliahmu ini, Nak?"

GlitchTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang