Ditampar

2.8K 127 2
                                    


---

Kring kring

Suara bel yang begitu nyaring kini telah berbunyi, memecah keheningan kelas. Semua penghuni sekolah, yang awalnya duduk manis mendengarkan pelajaran, kini berhamburan keluar dengan semangat yang menggebu. 95% dari mereka langsung meluncur ke kantin, tak terkecuali dua orang perempuan ini. Vera, dengan energinya yang meluap, menggandeng tangan Arcia, seolah mengajaknya melesat menuju petualangan kecil mereka.

Vera selalu menempel ke Arcia, kadang memeluknya seperti sekarang ini. Arcia merasa sedikit risih, karena seumur hidupnya, ia tak pernah diperlakukan seperti ini oleh teman-teman. Namun, di balik rasa risih itu, ada hangat yang menyelinap di hati Arcia. Suasana hati yang terasa asing, namun menyenangkan.

Setibanya di kantin, Arcia terpesona oleh keramaian yang menyambutnya. Barisan siswa mengantri di beberapa tempat jualan, suara tawaan dan teriakan bercampur aduk, menciptakan simfoni kehidupan sekolah yang akrab. Beberapa siswa bahkan saling dorong, seolah cacing dalam perut mereka tak sabar untuk diberi makan.

“Lo mau makan apa?” tanya Vera, semangat di wajahnya tak terbendung.

“Gue mau batagor, trus minimnya jus alpukat,” jawab Arcia, matanya berkilau mendengar pilihan makanannya.

“Ok, sip! Tunggu ya, gue pesanin,” ucap Vera dengan senyuman lebar sebelum bergegas ke stand jualan.

Arcia pun melanjutkan perjalanannya dengan ponsel di tangan. Ia asyik menjelajahi media sosial, mengalihkan perhatian dari keramaian. Tiba-tiba, suasana tenangnya pecah.

Splash!

Air dingin tiba-tiba membasahi rok Arcia.

“Akh! Apa-apansih, Gilak! Lo main nyiram orang aja!” teriak Arcia, suaranya cukup keras hingga semua orang di kantin menoleh ke arahnya.

“Maaf, Arcia, ak-aku nggak sengaja...,” ucap cewek yang baru saja menumpahkan air itu, wajahnya terlihat panik.

“Gak sengaja? Lo kalau jalan liat-liat dong! Jalan sebesar ini lo nggak bisa lihat?!” Arcia tak bisa menahan kemarahannya, suaranya meledak dan nada bicara yang semakin tinggi.

Matanya menatap sinis ke arah cewek itu, mengira bahwa ini semua adalah sebuah kebodohan yang disengaja. Rasa dingin dari air itu mengingatkan Arcia pada semua perasaannya yang terpendam. Ia bisa membedakan mana yang murni ketidaksengajaan dan mana yang sekadar drama.

“Ak-aku benar-benar nggak sengaja!” cewek itu kembali membela diri, kini air mata mulai mengalir dari matanya. Drama yang baginya begitu sempurna, tapi tidak untuk Arcia.

“Ah, lo terlalu banyak drama! Mendingan gue pergi aja dari sini! Lo udah hancurin mood gue!” Arcia menyandarkan kesal pada pandangannya, melangkah pergi.

“Arcia, lo mau kemana? Makanan udah sampai!” teriak Vera yang baru kembali, tangan penuh dengan nampan berisi pesanan mereka.

Arcia hanya memandang Vera dengan tatapan kosong, melupakan sejenak kehadiran Aruna di dekatnya.

“Eh, kok Aruna ada di sini sih?” tanya Vera, bingung.

“Gak usah nanya-nanya deh! Mendingan kita ke kelas aja. Mood gue udah hancur nih! Gara-gara nih cewek!” Arcia menggerutu, melangkah pergi melewati Aruna yang kini menundukkan kepala, seolah ingin menghilang dari pandangan.

Tapi, Arcia tidak berhenti di situ. Tanpa sadar, bahunya menyenggol bahu Aruna dengan keras.

“Auww, hiks hiks sakit!” rintih Aruna, kini sudah duduk terkulai di lantai, air mata mulai mengalir. Melihat ini, Arcia merasa perasaannya semakin terbakar.

“Dasar lemah! Gue cuma nabrak lo pelan aja, lo udah tepar!” Arcia berseru dengan suara nyaring, merendahkan Aruna yang terjatuh. Sontak, perhatian orang-orang beralih ke arah mereka.

Tiba-tiba, sosok cowok muncul di keramaian, wajahnya merah padam, marah. Ia berjalan menghampiri mereka dengan tatapan tajam.

“Arcia! Lo apain lagi Aruna?” suaranya menggelegar, menggetarkan suasana.

Plak!

Satu tamparan mendarat di pipi mulus Arcia. Kejutan menyelimuti kantin. Semua yang menyaksikan terpekur, membayangkan betapa sakitnya tamparan itu.

Arcia terdiam sejenak. Ini adalah pertama kalinya ia ditampar, dan oleh kakaknya sendiri. Air mata hampir menetes, tapi ia menahannya. Tidak, ia tidak akan menunjukkan kelemahan di hadapan orang-orang ini.

Mendadak, memori menyakitkan melintas di pikirannya. Kenangan pahit di masa lalu, saat kakaknya yang sama memperlakukannya dengan kasar. Kepalanya mulai berdenyut, teringat semua luka yang pernah ia alami. Vera, yang menyadari Arcia tertegun, menggenggam pundaknya, panik.

“Arcia, lo kenapa?” Vera bertanya, wajahnya mulai cemas melihat ekspresi Arcia yang kelam.

Air mata mulai mengalir tanpa bisa ia tahan. Rasa sakit yang ia simpan terlalu lama kini kembali menghantuinya. Arcia mengingat semua perlakuan kakaknya yang tidak adil. Kenangan itu mengiris hatinya.

Tapi saat itu juga, ketidakberdayaan berubah menjadi tekad. Wajah Arcia berangsur datar, kemarahan mengubahnya menjadi sosok yang tak terduga. Matanya bertemu dengan tatapan kakaknya, Arsean, yang sekarang terlihat sangat pengecut di matanya.

“Berani-beraninya lo nampar gue, sialan!” teriak Arcia, suaranya penuh amarah, menggema di seluruh kantin.

Dengan semangat membara, Arcia berlari ke arah Arsean, tinjunya terangkat.

“Mati aja lo sialan! Sebel sama makhluk kayak lo! Udah jelek! Kasar sama cewek, apalagi adek sendiri!” pekiknya dengan penuh kemarahan, tinjunya menghujam ke tubuh Arsean.

Semua yang ada di kantin terbelalak, tak percaya. Arcia, si gadis yang biasanya tertekan, kini melawan balik. Suasana berubah menjadi gempita; beberapa siswa bertepuk tangan, lainnya bersorak, menikmati pertunjukan tak terduga ini.

“Auhh! Berhenti! Lo apa-apaan sih?!” Arsean berusaha menghindar, kesakitan. Tapi Arcia tidak peduli. Dia ingin melampiaskan semua rasa sakitnya.

“Ini belum seberapa! Rasain balasan atas semua sikap lo ke gue! Sini, lo jangan lari!” Arcia berteriak, mengejar Arsean yang mulai panik berlari menghindar.

Kedua makhluk itu terus berlari mengelilingi kantin, menciptakan suasana seperti film laga komedi. Siswa-siswa mengabaikan makanan mereka, terpaku pada aksi konyol ini. Tapi Aruna, yang melihat ini, merasa perasaannya teriris. Momen ini bukan yang ia inginkan; semua menjadi sangat tidak sesuai harapannya.

“jangan lari lo!” teriak Arcia, suaranya menggema, seakan menantang Arsean.

“Lo mau kemana sialan?! Rasain nih sepatu mahal gue!” teriak Arcia saat ia melemparkan sepatu ke arah Arsean.

Tukk!

Satu suara keras saat sepatu Arcia menghantam kepala Arsean, membuat semua orang mengerang serempak.

“Hahahaha! Rasain tuh sepatu mahal gue!” Arcia tertawa, semakin menggebu.

Namun, saat ia bersiap untuk melayangkan tinjunya sekali lagi, tiba-tiba sebuah tangan besar dan kekar menahan gerakannya. Suasana mendadak hening, jantung semua orang berdegup kencang, terperangah melihat sosok yang muncul.

Sosok itu melepaskan tangan Arcia dan melangkah menjauh, namun sebelum pergi, ia menoleh.

“Arcia, temui saya di ruangan saya sekarang juga, dan kalian semua kembali ke tempat masing-masing!” Suaranya tegas, memecah hening.

Setiap mata terfokus pada sosok itu, kehadirannya seolah memancarkan kekuatan yang tak tertandingi. Ketegangan memenuhi udara, dan semua siswa, seakan terhipnotis, mulai beranjak dari tempat mereka.

ARYANYARCIA ( Transmigrasi )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang