---
Setelah menjauh dari mobil Arya di dekat parkiran karena salting tingkat akut, Arcia akhirnya sampai di depan gedung SMA Katulistiwa yang bertingkat tiga dan sangat luas ini. Gedung megah dengan arsitektur modern itu memancarkan aura prestisius yang membuat Arcia sedikit cemas. Ia menghabiskan waktu sekitar lima menit hanya untuk melintasi lapangan menuju pintu masuk.
Sambil melangkah masuk, Arcia mulai celingak-celinguk mencari papan informasi atau petunjuk untuk menemukan kelasnya. Meski ia sudah tahu di kelas berapa ia seharusnya, ingatan itu tidak membantu saat dia tidak tahu lokasi pastinya. Rasa gugup dan ketidakpastian menghantuinya, seakan setiap langkah yang diambilnya bisa membawanya ke tempat yang salah.
Setelah beberapa menit berputar-putar, akhirnya Arcia menemukan pintu kelasnya yang bertuliskan "XI MIPA 2." Dengan perasaan campur aduk antara antusias dan cemas, ia melangkahkan kaki ke dalam. Namun, saat kakinya baru melangkah satu langkah, tiba-tiba seseorang datang dan menubruk tubuhnya.
“Woy, gue kecekek! Lo mau buat gue mati untuk yang kedua kalinya ya!” pekik Arcia, terkejut sekaligus sedikit kesal, sambil berusaha melepaskan diri dari pelukan yang sangat erat di lehernya.
“Hehehe, gue refleks. Maaf, soalnya gue kangen banget sama lo!” ucap sosok di hadapannya dengan senyum lebar, menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
“Lo siapa? Main peluk-peluk aja!” tanya Arcia dengan tatapan bingung. Ia benar-benar tidak mengenali orang yang kini tampak sangat akrab dengannya.
“Woyy, lo lupa? Pikun atau amnesia sih! Masa sama sahabat sendiri lo nggak ingat!” Nara, sahabatnya yang ternyata berdiri di depannya, tertawa terbahak-bahak.
Begitu mendengar nama Nara, ingatan Arcia pun kembali. Ya, hanya Nara lah satu-satunya sahabat yang ia punya. Momen pertama mereka bertemu terlintas di benaknya, di mana mereka berdua langsung klik satu sama lain.
“Hehehe, gue bercanda kali! Yuk, masuk.” Arcia pun merangkul pundak Nara dengan santai, meskipun baru kali ini mereka bertemu secara langsung.
Nara dan Arcia memasuki kelas bersama, duduk di kursi yang ada di barisan tengah. Ternyata mereka berdua satu meja, yang membuat suasana menjadi lebih akrab.
“Aahh, Arcia, kenapa lo lama amat sih nggak datang ke sekolah? Kan gue kangen sama lo!” rengek Nara, kini sudah ada di samping Arcia, dengan tangannya bergelayut di lengan Arcia.
“Ihh, apaan sih, lebay amat lo! Gue nggak datang cuma satu minggu doang, lo udah kayak gini. Nempel-nempel ke gue, apalagi kalau gue nggak datang sebulan atau satu tahun, ihh nggak kebayang!” Arcia menjawab dengan nada bercanda, membayangkan betapa dramatisnya reaksi Nara jika ia tak hadir dalam waktu yang lama.
“Hehehe, maaf. Soalnya gue kangen banget sama lo, dunia gue serasa sepi tanpa kehadiran lo, tau nggak?” Nara berusaha mendramatisasi keadaan. Arcia hanya memutar matanya malas mendengar pengakuan sahabatnya yang berlebihan.
“Ihh, nggak usah mendramatis kayak gitu. Geli-geli liat tampang lo yang model pantat monyet!” ejek Arcia, tersenyum lebar sambil menatap wajah Nara.
“Ihh, kok pantat monyet sih!” dengus Nara, tampak sebal. Ia berusaha menahan tawa, meskipun merasa tersinggung.
“Daripada lo ngerasa kesepian kayak yang lo bilang tadi, lebih baik lo cari pacar sana! Daripada nempel-nempel kayak gini ke gue. Nanti orang pikir kita ada apa-apanya lagi, kan gue nggak mau,” Arcia melontarkan candaan dengan ekspresi serius yang dibuat-buat.
“Gilak lo! Lo pikir gue mau sama lo! Ya nggak kali, gini-gini gue masih normal, kalik!” Nara menjitak pelan kening Arcia, berusaha memperlihatkan keseriusan walaupun senyumnya tidak bisa disembunyikan.
“Hahahha!” Arcia tertawa melihat ekspresi Nara yang sebal dan lucu.
Tiba-tiba, Aryo, ketua kelas yang baru kembali dari ruang guru, muncul dengan membawa setumpuk buku di tangannya. Di belakang Aryo terdapat Pak Jeje dan seorang gadis dengan seragam sekolah yang mengikuti mereka.
“Woyy, Pak Jeje udah datang!” teriak Aryo, membuat semua murid yang sebelumnya sibuk dengan urusannya masing-masing terdiam dan mulai duduk di kursi mereka.
“Selamat pagi, anak-anak!” sapa Pak Jeje dengan senyum manis di wajahnya.
“Pagi, Pak!” sahut semua murid serempak.
“Baiklah, kita kedatangan teman baru. Kamu boleh memperkenalkan diri,” ucap Pak Jeje, mengisyaratkan agar gadis di sampingnya memperkenalkan diri.
“Perkenalkan, namaku Aura Qalista. Teman-teman bisa panggil aku Aura,” ucapnya dengan lembut, senyum ramah menghiasi wajahnya.
Setelah Aura memperkenalkan diri, Pak Jeje memintanya untuk duduk di samping Nara yang ada di pojok belakang. Aura tampak ceria, dan Arcia merasakan ada kehangatan dalam suasana kelas.
Setelah acara perkenalan selesai, Pak Jeje memulai pelajaran dengan mengumumkan adanya ulangan harian (UH). Suasana kelas mendadak ramai, dengan beberapa murid mulai protes dan mendramatisasi karena ulangan dadakan seperti ini. Ada yang mengeluh tidak siap, sementara yang lain mulai menulis beberapa rumus di atas meja.
Arcia dan Nara saling bertukar pandang, terpaksa berpisah dari obrolan hangat mereka. Aryo, Arcia, dan Aura tampak tenang di tengah kekacauan yang terjadi. Dengan ketenangan, mereka mulai menyiapkan alat tulis untuk menghadapi ulangan.
Suasana kelas semakin intens ketika Pak Jeje memberikan instruksi. Di tengah kesibukan itu, Arcia merasakan kerinduan yang mendalam untuk kembali ke rutinitasnya di sekolah. Ia teringat hari-hari penuh canda tawa bersama teman-temannya, dan kini ia merasa bersyukur bisa kembali, meskipun dalam kondisi yang tidak biasa.
Ulangan pun dimulai. Berbagai drama dan aksi terjadi di dalam kelas XI MIPA 2. Beberapa murid terlihat panik, sementara yang lain berusaha tenang meski dalam hati mereka bergolak. Arcia mencoba fokus pada soal-soal yang dihadapinya, tetapi pikirannya sesekali melayang kembali kepada Arya dan interaksi mereka pagi tadi.
Setiap kali Arcia melihat ke arah Nara, ia merasakan semangat yang membara. Sahabatnya itu selalu bisa membuatnya merasa nyaman, meski terkadang berlebihan. Dia merasa beruntung memiliki seseorang seperti Nara di sisinya, yang mampu menghibur dan menghangatkan hatinya di tengah ketidakpastian.
Dalam kebisingan kelas yang dipenuhi ketegangan dan tawa, Arcia bertekad untuk menjadikan hari ini sebagai langkah awal dalam menjelajahi kehidupannya yang baru. Ia akan menjalani setiap detik dengan sepenuh hati, mengumpulkan pengalaman dan kenangan yang tak terlupakan.
Dengan semangat itu, Arcia menatap lembaran kertas ulangan di depannya, siap menghadapi tantangan apa pun yang akan datang.

KAMU SEDANG MEMBACA
ARYANYARCIA ( Transmigrasi )
Teen FictionAsiya Aulia adalah gadis yang bertransmigrasi ke tubuh seorang gadis yang bernama Arcia Antonia, yang dimana Arcia sendiri adalah tokoh antagonis yang ada pada novel "Still with you" ia menjadi antagonis dalam novel tersebut. Arcia Antonia adalah se...