---
Di lorong yang sunyi dan sepi, suara sepatu beradu dengan keras, diikuti langkah sepatu lain yang lebih ringan. Dua sosok dengan gender berbeda berjalan beriringan; salah satunya tampak menunduk, mengikuti yang lainnya menuju suatu tempat yang tak terduga.
Arcia melangkah dengan kepala tertunduk, bukan karena takut atau cemas akan dimarahi, melainkan sedang berusaha mencerna segala yang terjadi. Semakin ia berusaha memahami situasi ini, semakin banyak pertanyaan membanjiri benaknya. Kenapa Arya tiba-tiba muncul di sini?
Arya, yang sebelumnya menahan tangannya, kini memimpin Arcia ke ruangan yang ia sebut 'ruangannya'. Dalam hati, Arcia merasa bingung. Apakah Arya mengajaknya ke kantor atau ke ruangan lain di sekolah ini? Apakah benar Arya memiliki ruangan pribadi di sini? Rasa penasaran membayangi pikirannya. Apa hubungan Arya dengan sekolah ini? Apakah ia salah satu orang penting, atau sekadar tamu dengan urusan mendesak?
‘Tunggu, tunggu dulu. Gue kan istri Arya, dan gue nikah saat masih di sekolah. Apa teman-teman di sekolah udah tahu atau gimana? Aakh, gimana kalau mereka tahu! Mau taruh di mana wajah gue? Kan nggak lucu kalau masih sekolah udah nikah sama orang yang lebih tua dari gue. Mereka pasti nyangka gue simpanan om-om. Aakk, gue nggak mau!’ Begitulah pemikiran Arcia saat ini. Ia sangat gelisah, ketakutan akan semua yang ia khawatirkan menjadi kenyataan.
Arya berhenti di depan sebuah pintu. Arcia, yang belum sepenuhnya sadar, menubruk dada bidang Arya ketika ia berbalik. Jidatnya terasa nyeri akibat benturan dengan tubuh Arya yang kokoh. Ia mendongak, merasa tertegun oleh tinggi badan Arya yang membuatnya merasa kecil.
Tatapan mereka terkunci sejenak. Arya memandangi Arcia yang masih menunduk, seolah ingin menyelami apa yang ada dalam pikirannya.
“Ko-kok lo berhenti sih?” tanya Arcia gugup, heran mengapa ia bisa sedemikian gugup di hadapan Arya.
“Masuk,” jawab Arya dengan nada datar yang dingin, wajahnya menunjukkan ketidakpastian.
Aria membuka pintu dengan satu tangan, menyuruh Arcia masuk. Namun, Arcia hanya berdiri diam, bingung menatap Arya.
“Masuk!” ulang Arya, suaranya sedikit meninggi, membuat Arcia terkejut dan menunduk. Matanya mulai memanas, tidak percaya bahwa ia bisa menangis hanya karena Arya meninggikan suara. Kenapa keadaan dirinya yang ditampar Arsean tadi tidak membuatnya menangis? Mengapa sekarang ia terasa begitu rapuh?
Akhirnya, Arcia melangkah masuk dengan pandangan masih tertuju ke lantai, tangannya bergetar saat menghapus air matanya. Kenapa ia jadi se’cengeng’ ini?
Setelah Arcia masuk, Arya menyusul dan menutup pintu. Arya menghela napas berat. Ia melihat Arcia menghapus air mata dengan tangan yang bergetar. Apakah ia telah menyakiti hati Arcia? Apakah Arcia menangis karena dirinya? Sungguh, Arya tidak bermaksud membentak, tetapi mulutnya sialan ini tanpa sadar mengeluarkan nada yang lebih tinggi.
Arya datang ke sekolah karena sekretarisnya mengabarkan adanya masalah kecil. Sebagai pemilik sekolah, ia merasa bertanggung jawab untuk menyelesaikan masalah tersebut. Sekolah yang didirikan kakeknya, diwariskan kepada ayahnya, kini menjadi tanggung jawabnya. Rencananya, ia ingin mengecek keadaan sekolah sendirian, tanpa pengurus lain atau sekretaris pribadinya.
Namun, saat melewati kantin, pandangannya tertuju pada seseorang yang mengganggu pikirannya. Arcia, sosok yang selama ini membuat suasananya hancur, kini terlihat berbeda dan membuatnya sedikit peduli. Ia melihat Arcia tersenyum, dan tanpa sadar senyum itu menular ke wajahnya.
Tetapi, seketika senyuman itu memudar saat melihat kejadian tak terduga. Seorang cewek seumuran istrinya tiba-tiba menyiram Arcia dengan air, dan tatapan Arya berubah menjadi penuh kemarahan. Ia menyaksikan ipar Arcia menamparnya, seolah membakar api kemarahan dalam dirinya.
Arya merasakan kemarahan membara saat melihat Arcia dikejar-kejar, ingin melindungi, tetapi lebih dulu menahan tangan Arcia saat ia hendak menyerang balik. Tanpa berpikir panjang, Arya membawa Arcia ke ruangan khusus miliknya.
Di dalam ruangan bernuansa putih, dengan furnitur kayu cokelat yang elegan dan foto-foto bersejarah menghiasi dinding, Arya duduk di kursi kebesaran kakeknya. Sementara itu, Arcia, masih duduk di ujung kursi dengan tatapan teralihkan ke bawah, berusaha menahan tangisnya.
“Ekhmm,” Arya berdehem, berusaha mencairkan suasana canggung. Namun, Arcia tidak dapat menahan air matanya lagi.
“Hiks... hiks...” Suara tangisnya pecah, menyisakan luka yang dalam. Fisik dan hatinya terasa menyakitkan. Rasa sakit di fisiknya akibat tamparan Arsean, dan hatinya yang remuk karena perlakuan tidak adil. Meski ia bukan Arcia asli, ia merasakan sakit yang nyata, seakan semua rasa sakit itu berpindah ke dalam dirinya.
Arya panik melihat Arcia yang tak terkendali. Ia mendekat, menggenggam lembut pundak Arcia. “Arcia, kamu kenapa?” tanyanya, wajahnya penuh kekhawatiran.
“Arcia, tenang!” serunya, berusaha menenangkan.
Arcia, yang masih terisak, memegang dadanya, berusaha mencari napas. Arya tidak mampu menahan hati melihat kondisi Arcia. Dalam sekejap, ia menggendong Arcia, menidurkannya di pangkuannya seolah Arcia adalah bayi yang butuh perlindungan. “Tenang, jangan nangis. Kalau kamu nangis, dada kamu jadi sesak,” ucapnya lembut, berusaha mengalihkan fokus Arcia dari rasa sakit.
“Ini sakit, Arya! Sakit!” rintih Arcia, terisak, menggenggam dadanya.
“Apa yang sakit?” Arya semakin khawatir.
“Hati dan fisik gue sakit, Arya! Sakit!” Arcia merintih, seolah semua kesedihan dan rasa sakit yang ia simpan selama ini mengalir keluar. Ia sudah tidak kuat menahan derita ini. Ia lelah, ingin merasakan ketenangan.
“Gue di sini,” balas Arya lembut, berusaha menenangkan.
“Kenapa semua orang jahat? Apa salah gue?” Arcia menumpahkan semua rasa sakit yang ia simpan. “Apa salah gue menginginkan perhatian dari kakak gue? Apa gue juga salah saat butuh suami gue? Kenapa mereka membenci gue, Arya?” Air matanya mengalir deras, penuh kepedihan yang tak tertahankan.
“Kamu tidak salah, Arcia,” jawab Arya tegas. Ia menyadari bukan Arcia yang salah, tetapi dirinya yang gagal menjadi suami yang baik.
Setelah beberapa saat, Arcia mulai mereda. Ia menggeliat dan menemukan posisi nyaman di pangkuan Arya, lalu menutup matanya. Arya hanya mengelus punggungnya lembut, memandang wajah Arcia yang sembab karena menangis.
“Maafkan aku, karena memberikan luka yang dalam padamu, Arcia,” gumam Arya lembut. Penyesalan yang dalam mengalir dalam hatinya, menyadari semua derita yang Arcia alami adalah akibat dari sikapnya sendiri.
---
KAMU SEDANG MEMBACA
ARYANYARCIA ( Transmigrasi )
Teen FictionAsiya Aulia adalah gadis yang bertransmigrasi ke tubuh seorang gadis yang bernama Arcia Antonia, yang dimana Arcia sendiri adalah tokoh antagonis yang ada pada novel "Still with you" ia menjadi antagonis dalam novel tersebut. Arcia Antonia adalah se...