Lo lupa gue siapa?

2K 106 0
                                    

---

Sesuai dengan apa yang diucapkan Arcia tadi di kantin sekolah, ia dan Vera akan pergi bersenang-senang dan menghabiskan uang Arcia. Tujuan pertama mereka adalah Praharta Mall, salah satu mall terbesar dan terkenal di Jakarta, mungkin nomor dua terbesar setelah Alaskar Mall, yang dimiliki seorang CEO tampan yang dikenal hampir seluruh penduduk Jakarta. Siapa lagi kalau bukan Arya, suami Arcia.

Mengapa Arcia lebih memilih belanja di sini? Jarak antara sekolah dan rumahnya dengan Alaskar Mall terlalu jauh; ia tinggal di Jakarta Barat sementara Alaskar Mall berada di Jakarta Timur. Jadi, pilihan terbaiknya adalah mall yang dekat.

Arcia dan Vera masih mengenakan seragam sekolah karena setelah pulang sekolah, mereka langsung tancap gas ke Praharta Mall. Dengan semangat dan senyum manis di wajah mereka, Arcia dan Vera mulai memasuki mall dan berjalan ke sana kemari.

“Gilak! Lo benaran mau traktir gue, nih? Lo tahu sendiri kan, barang-barang di mall ini harganya nggak main-main?” Vera berkata, merasa agak ragu. Apakah Arcia yakin mengajak mereka berbelanja di sini? Bagaimana jika Arcia membeli banyak?

“Gue tahu kok di sini harga barang-barangnya mahal, makanya gue ngajak lo kesini, biar uang gue cepat berkurang. Lo ambil aja semua yang lo mau, tenang aja, bakal gue bayarin kok,” jawab Arcia sambil melangkah dengan percaya diri. Sikapnya yang santai dan terkesan sombong membuat Vera mencebik kesal. Dasar sombong!

“Yaudah, mari kita mulai dari beli pakaian.” Arcia melangkah ke salah satu toko pakaian, sementara Vera hanya mengikuti dari belakang, berusaha menyeimbangkan langkah Arcia.

“Lo boleh pilih yang mana yang lo mau. Di sini ada sepatu, baju, celana, tas, dan banyak lagi. Lo puas mengambil berapapun yang lo mau,” ucap Arcia, kini sudah mulai melihat-lihat baju yang ada di toko.

Satu jam berlalu mereka memilih-milih mulai dari baju, celana, rok, tas, sepatu, dan barang-barang lainnya. Akhirnya, mereka pun mulai antri untuk membayar belanjaan.

Setelah sepuluh menit menunggu, akhirnya giliran mereka untuk membayar. Arcia dan Vera menyerahkan barang-barang yang akan mereka beli agar dihitung dan dibungkus oleh mbak kasir.

Lima menit kemudian, mbak kasir selesai menghitung barang belanjaan mereka, yang kini berjumlah sekitar dua puluh paper bag.

“Totalnya 20.568.000, kak,” ucap mbak kasir dengan ramah kepada Arcia dan Vera.

“Ok, tunggu ya, kak.” Arcia mulai mengambil dompetnya dan ingin mengambil kartu hitamnya. Tapi tunggu dulu, kenapa kartunya tidak ada di dompet? Bukankah ia meletakkannya di sini? Kok cuma ada uang kertas saja?

Arcia mulai mencari-cari kartu hitam itu dan mengecek tasnya. Mungkin saja terselip di sana. Vera yang menyadari Arcia sedang mencari sesuatu mulai merasa heran dan kemudian memutuskan untuk bertanya.

“Lo cari apaan? Cepet keluarin black card lo, mbak kasirnya udah nunggu nih,” Vera menatap Arcia, meminta agar Arcia segera mengeluarkan kartu ATM-nya dan membayar belanjaan mereka.

“Sabar, ogeb, ini gue lagi cari! Lo jaga berisik, ganggu konsentrasi gue aja!” Arcia kesal, merasa panik.

“Ketemu nggak?” tanya Vera, yang juga mulai was-was. Bagaimana jika kartu itu tidak ketemu? Dengan apa mereka membayar belanjaan yang jumlahnya jutaan? Mana dia tidak bawa kartu ATM juga, cuma ada uang seratus ribu di dompetnya.

“Ada masalah, kak?” tanya mbak kasir yang sedari tadi menunggu dan memperhatikan kedua gadis itu.

“Ini kak, kartu saya kemana ya? Tadi perasaan udah saya bawa, kok nggak ada ya?” Arcia menunduk, malu dan cemas. Bagaimana tidak malu? Mereka belanja begitu banyak dan sekarang ia tak bisa bayar karena black card-nya tak ditemukan. Bisa-bisa mereka kena marah dan dicaci oleh orang-orang yang ada di sekitar.

“Apakah kakak sudah memeriksa dengan benar? Mungkin terselip,” ucap mbak kasir dengan lembut.

“Nggak ada, ih! Kartunya mana sih! Ver, lo bawa uang nggak atau lo bawa kartu ATM?” Arcia mulai kesal karena tak menemukan black card-nya, lalu ia bertanya kepada Vera.

“Gue nggak bawa, ogeb! Gue cuma bawa uang seratus ribu doang. Kan lo bilang mau traktir gue, jadi gue nggak bawa kartu,” balas Vera, ikut panik saat mengetahui bahwa black card Arcia tak ketemu.

“Duh, jadi gimana nih! Bayar pakai apa coba, gue cuma ada uang kertas dan jumlahnya cuma dua juta, kan nggak cukup!” Arcia menghela napasnya kasar. Ia harus bagaimana? Ia berharap ada orang yang bisa membantu mereka.

“Lo coba ingat-ingat di mana lo taruh black card lo,” ucap Vera, berusaha membantu Arcia mengingat.

“Oke, oke, gue coba ingat-ingat dulu. Pas gue mau pergi sekolah tadi, gue keluarin barang-barang yang nggak gue butuhkan dan juga beberapa kartu ATM yang ada di dompet. Gue cuma ambil black card, saat mau beresin semuanya dan masukin ke tas, tiba-tiba Arya datang dan ganggu gue. Arya ambil buku PR yang mau gue kumpulin nanti. Nah, gue kesal jadinya, berakhir gue ngejar Arya dan masukin semua barang-barang gue dengan cepat. Gue juga masukin dompet ke dalam tas, tapi gue lupa kalau black card-nya belum gue masukin ke dompet. JADI BLACK CARD GUE ADA DI ATAS MEJA BELAJAR! DUH, GIMANA NIH!” Arcia menceritakan semua kejadian tadi pagi dan mengingat bahwa ia lupa membawa black card dan malah meninggalkan kartu itu di rumah. Awas saja Arya, Lo harus tanggung jawab.

“Trus kita bayar semua ini pakai apa coba? Mau bayar pakai ginjal lo?” Tanya Vera, yang membuat Arcia mendengus kesal.

“Enak aja pakai ginjal gue, pakai ginjal lo aja sana!” ucap Arcia sebal.

“Jadi barang-barang ini gimana, kak? Jadi dibeli kan?” akhirnya mbak kasir memecahkan pertengkaran mereka yang tak berguna. Ia sudah mendengar semua cerita mereka berdua dari awal sampai akhir.

“Heheh, gimana ya, kak?” Arcia menyengir bingung. Ia benar-benar tidak tahu harus bagaimana.

“Makanya, jangan sok deh. Katanya mau traktir orang, eh ujung-ujungnya beralasan lupa bawa kartu. Kalau nggak punya uang, jangan sok belanja di tempat mahal kayak gini. Kan malu pada akhirnya nggak punya uang untuk bayar!” ucap seseorang yang berada di belakang mereka.

Arcia menoleh ke arah suara tadi. Orang yang berbicara julid itu adalah Aurel, si pemeran utama di novel Still With You. Tapi, kenapa penampilan dan gaya bicaranya tidak sesuai dengan yang ada di novel? Bukankah ia terkenal baik, lembut, feminim, dan agak cengeng? Kenapa sekarang berbeda?

Arcia terdiam beberapa menit untuk mencerna semua ini. Maklum, ia agak lambat jika sudah berurusan dengan hal ini. Uang, ia tak mengerti dengan semua sifat orang yang tiba-tiba berubah.

Saat sudah mencerna semuanya, Arcia hanya bisa mengambil satu kesimpulan. Wanita itu bilang ia tidak punya uang. Apakah ia salah dengar? Hah, dasar tidak tahu diri. Apakah wanita itu tidak sadar semua uang dan ketenaran yang ia dapat itu berkat suaminya? Dan apakah wanita itu pikun sehingga lupa bahwa ia adalah istri dari orang kaya raya dan orang itu adalah Arya, suaminya?

“Apa lo bilang? Gue Arcia Antonio, nggak punya uang? Lo lupa atau pikun sih? Kalau gue sebenarnya siapa? Atau perlu gue kasih tahu siapa gue agar lo bisa ingat tentang gue?” Arcia awalnya bicara dengan nada tinggi dan kemudian menatap Aurel dengan sinis setelah mengucapkan kalimat terakhir.

Aurel mengepalkan tangannya, kesal karena Arcia mengingat kenyataan bahwa ia berasal dari kalangan konglomerat dan dirinya hanyalah wanita yang bergantung hidup kepada seseorang.

---

ARYANYARCIA ( Transmigrasi )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang