PAK ISKANDAR

864 14 1
                                    

Jangankan bergaul dengan para tetangga, mengobrol dengan teman satu kost pun jarang sekali kulakukan. Bukan apa-apa, kegiatanku sehari-hari memang sangat padat dan sibuk. Hampir tiap hari aku berangkat kantor jam setengah tujuh pagi, dan sampai rumah lagi paling cepat jam delapan malam. Lebih dari dua belas jam waktuku habis di luar rumah. Baru hari Sabtu dan Minggu aku habis-habisan untuk bersantai, bangun siang, malas-malasan di rumah, baca-baca, nonton atau jalan santai ke mall-mall.

Itulah yang membuatku agak heran ketika malam itu, malam Sabtu, setiba dari kantor dan belum sempat berganti baju, tiba-tiba timbul keinginan untuk nongkrong di luar sambil merokok. Santai. Barangkali malam ini adalah akhir pekan dan besok aku masih punya dua hari libur. Jadi malam ini kupikir aku dapat mulai membuang waktuku untuk bersantai.

"Kok tumben nongkrong di luar, Dik Tanto?" sebuah suara agak berat, tapi ramah, mengagetkanku.

Rupanya Pak Iskandar, bapak-bapak tetangga sebelah rumah yang menyapaku. Rumahnya tidak persis di sebelah tempat kostku, tapi selisih tiga atau empat rumah. Kebetulan ia sedang lewat melintas di depan rumah kost.

"Iya nih Pak Is, lagi santai," aku mencoba menanggapi basa-basinya Pak Iskandar.

Sungguh, aku agak surprise. Selama ini aku hanya mengenal dia sekedarnya saja, karena hampir tiap berangkat ke kantor aku lewat di depan rumahnya, dan biasanya kulihat ia sedang sibuk memanasi mesin mobilnya. Terus terang aku suka dengan Pak Iskandar. Bukan saja karena ia ramah dan baik, tapi orangnya juga ganteng dan simpatik. Usianya berkisar 40 tahunan, tapi masih nampak segar dan energik. Setiap kali bersua, ia selalu menyapaku dengan teguran-teguran ringan, dan tidak lupa melemparkan senyum di balik kumisnya yang menawan itu. Dan kini, malam ini, orang yang kusukai itu ada di hadapanku.

"Dari mana Pak?" aku mencoba mengajaknya berkomunikasi.

Dan ia tampaknya merespon pertanyaanku dengan berhenti sebentar dan ikut duduk di sampingku.

"Ini, lagi nyari lampu ke toko seberang jalan," katanya sambil menunjukkan bungkusan panjang yang nampaknya sebuah lampu neon.

"Putus Pak, lampunya?" tanyaku.

"Iya nih, jadi repot. Mana lagi nggak ada orang di rumah. Jadi saya sendiri yang keluar beli lampu," katanya bercerita sambil tertawa.

"Memang lagi pada kemana, Pak?"

"Tadi pagi, ibunya sama yang bungsu berangkat ke Bogor, ke neneknya. Biasa, besok kan liburan," katanya sambil menyebut anaknya yang sulung sedang ada acara kemping ke luar kota, "Jadinya ya sendirian..," lanjutnya.

"Ayo, main ke rumah. Ngobrol di sana saja," ajaknya sambil berdiri untuk pamitan.

Aku menanggapi dan mencoba menolak ajakannya secara halus. Tapi tampaknya Pak Is tidak sedang berbasa-basi. Ia 'serius' mengajakku ke rumahnya. Aku jadi tidak enak sendiri.

"Oke..," kataku sambil beranjak berdiri.

Apa salahnya sekali-sekali bersilaturahmi ke rumah tetangga. Jangankan tetangga yang lain, ke rumah Pak Is pun aku belum pernah. Padahal dia lah tetangga yang paling 'kukenal'.

"Ayo masuk," katanya begitu sampai di depan rumahnya."Santai saja. Anggap seperti rumah sendiri," kata Pak Is sambil masuk ke dalam.Rumahnya cukup nyaman. Terasnya cukup luas dan penuh pepohonan. Kulihat ruang keluarga agak remang-remang. Mungkin di sanalah lampu neon yang putus itu. Sejenak aku melihat ke ruang tamunya, suasana di situ terlihat cukup hangat. Tapi aku memilih duduk di kursi santai yang ada di teras saja.

KUMPULAN CERITA GAY ONESHOOTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang