Saat ini aku semester 3 Fakultas Sastra Inggris di PTS swasta favourit di Kota Malang. Aku tinggal di kawasan perumahan yang cukup terkenal di Malang, di Perumahan Araya. Namaku Donny, umur 18 tahun, tinggi 175 cm, berat 70. Tubuhku cukup berisi dengan kulit kuning langsat, rambut lurus dan hidung sedikit mancung. Aku dilahirkan dari keluarga yang mampu.
Tapi Aku merasa kesepian karena kakak perempuanku yang sulung kuliah di Australia. Sedang kakak cowokku di atasku, sedang kuliah di UI Jakarta. Kedua orang tuaku lebih sering berada di luar kota. Kadang di Bali mengurusi perusahaannya di bidang garment, kadang di Jakarta mengurusi usaha restoran. Sehingga aku jarang bertemu kedua orang tuaku.Di kampus, aku memiliki pacar cewek yang dijodohin oleh teman-temanku. Namanya Herdita, cewek blasteran China-Sunda-Manado. Keluarga Herdita termasuk keluarga yang kaya. Karena ayahnya, Pak Hermanto adalah ketua fraksi salah satu parpol di DPRD sedang ibunya, Bu Inge Estianti adalah sosok pengusaha wanita yang ulet. Ada tangan kanan keluarga Pak Harmawan yang mengurusi semua urusan bisnis dan usaha keluarga, namanya Om Bernard, yang ternyata adik Pak Hermanto.
Aku punya kesibukan sebagai wakil ketua Senat di fakultasku. Banyak sekali kegiatan ekstra yang aku ikuti. Seperti akhir pekan ini, kelompok debater di fakultasku berencana mengadakan kegiatan di salah satu villa di kawasan Batu Malang. Untuk itu, aku dan Idran temenku survey dan mencari persewaan rumah villa di kawasan Batu ini.
Sesampainya di kawasan villa Songgoriti yang sering menjadi tempat peristirahatan pengunjung dari luar kota, aku dan Idran mengamati beberapa villa yang berdampingan dengan beberapa hotel kecil. Tiba-tiba pandanganku jatuh pada pria setengah baya yang berkacamata hitam baru keluar dari mobil dan mau masuk ke salah satu hotel. Aku seperti tak percaya, dia ternyata Om Hermanto, ayahnya Herdita. Saat yang bersamaan, seorang pemuda tanggung dengan dandanan yang necis, berbadan cukup atletis dan muscle keluar dari pintu mobil yang lain. Dari gelagatnya, aku merasakan sesuatu yang aneh, sehingga timbul niatku untuk menyelidiki apa sebenarnya tujuan Om Hermanto datang ke hotel ini. Setelah mendapat kunci, mereka kemudian melangkah pergi untuk menuju kamar yang dipesan. Lalu aku menguntitnya diam-diam, pada temenku Idran aku pamit mau survey harga kamar di hotel itu. Ternyata mereka menuju ke kamar pavilliun yaitu salah satu kamar VIP yang dipunyai oleh hotel itu.
Kemudian aku balik lagi ke temanku Idran. Kuputuskan untuk menyewa villa Aster yang letaknya bersebelahan dengan hotel tempat Om Hermanto check in itu. Kebetulan ada salah satu ruang yang lokasinya saling membelakangi dengan pavilliun tersebut, dan dipisahkan oleh parkiran mobil. Aku berlagak seolah-olah seang meneliti dan mengamati seluruh ruang di Villa Aster. Padahal aku mencari tahu, bagian tempat yang mana yang dengan leluasa bisa mengintip ke dalam kamar pavilliun Om Hermanto. Rupanya, pada dinding belakang kamar pavilliun itu ada ventilasi udara yang agak rendah. Dengan memanjat mobil, akhirnya aku bisa melihat apa yang terjadi di dalam kamar pavilliun itu. Ternyata Om Hermanto, ayah pacarku yang di rumah kelihatan alim dan berwibawa tak disangka sedang bergelayut mesra dengan seorang pria. Entah pria itu pacar gaynya ataukan cowok itu, gigolo pemuas nafsu saja. Sungguh aku tidak mempercayai apa yang aku lihat. Ternyata Om Hermawan seorang biseks. Meskipun sudah punya istri cantik dan memberinya 3 anak, tapi masih bisa berhubungan dengan cowok.
Aku intip secara samar-samar, Om Hermanto dan cowok itu hanya memakai celana pendek dan sesekali saling berciuman bibir. Aku turun dari mobil, dan berfikir keras atas apa yang aku saksikan ini. Antara bingung dan rasa tidak percaya. Lalu aku naik ke atas mobil lagi untu mengintip. Meski kurang leluasa, namun cukup memberikan gambaran apa yang terjadi di dalam kamar pavilliun itu. Rupanya kini kedua orang itu kini dalam keadaan telanjang bulat dan posisi Om Hermanto sedang menaiki pemuda itu sambil duduk di perutnya. Sesekali Om Hermanto mencium bibir, lalu berpindah ke leher pemuda itu. Dada dan putting pemuda itu juga tidak luput dari sapuan lidah dan kumis Om Hermanto. Lalu aku melihat Om Hermanto menggesek-gesekkan tubuhnya pada pemuda itu, sehingga batang kontolnya saling bergesekan.