"Apa-apaan kamu!" ujar ayahku, segera masuk dan menutup pintu.
Aku tersentak kaget. Jantungku berdebar kencang. Mataku membelalak, lalu berkedip-kedip. Aku membungkukkan badan, menarik kedua kakiku dan memeluknya dengan tangan kananku. Tangan kiriku menarik bantal terdekat dan menutupi badanku, semampu sebuah bantal menutupi tubuh. Tidak cukup cepat, kupikir. Mukaku terasa panas--aku yakin pasti kemerahan.
Ayahku melihat ke kiri, kanan, lalu ke ranjangku yang berantakan. Seakan puas menginspeksi TKP, ayahku lalu kembali melihat ke arahku, lalu menggeleng-gelengkan kepala. Dia berjalan mendekatiku. Aku pun bergegas menjauhkan diri dalam ketakutan, tapi yang bisa kulakukan hanya duduk lebih tegak dan merapatkan kaki dengan dada, bersandar pada punggung ranjang.
Sejak kecil ayahku keras terhadap anak-anaknya. Aku paling takut kalau ayahku marah--mukanya mengerikan, tangannya siap melayang. Dan pukulannya keras dan sakit luar biasa. Mendekatiku seperti itu, pikiranku kacau dan jujur saja aku ketakutan.
Dan ayahku pun duduk di samping ranjang, jaraknya hanya sekitar dua lengan dariku. Tangan kirinya menjangkauku pelan, diletakkannya di atas bantal yang kugunakan untuk menutupi tubuhku. Lalu dia menariknya dengan paksa. Dan matanya tertuju tepat pada bagian yang tadi kututupi, seakan memeriksa ulang apa benar yang tadi dilihatnya. Tiba-tiba tangan kanannya melayang.
Sedetik pertama aku tidak sadar itu terjadi. Baru setelahnya rasa sakit di pipiku menyadarkanku. Ayah baru saja menamparku. Aku menutup mata melihat tangan kanannya diangkat lagi, kutolehkan wajahku ke samping. Tangannya hinggap di kepalaku. Dan ayahku mengelus kepalaku. "Seumur-umur papa hidup benar. Baru pertama kali papa lihat--anak sendiri papa gedein rupanya kayak gini."
Aku mengintip dari balik lengan ayahku. Ayahku terlihat seperti kecewa. "Maaf pa," kataku. Aku masih tidak bergerak, seluruh tubuhku seakan terkunci di sana.
"Udah sejak kapan kamu main ginian?" tanya ayahku, tangannya masih mengelus kepalaku seakan mencoba menenangkanku. Pertanyaan seperti itu membuatku diam sejenak dan benar-benar mengingat sejak kapan. Tapi lanjut ayahku, "Gimana pun kamu tetap anak papa. Cuma papa ngga ngerti kenapa kamu gini--apa enaknya pantat disodokin batang."
Kata-kata itu membuatku sekaligus malu dan terangsang. Untungnya ditutupi kedua kakiku ayahku tidak dapat melihat penisku yang mulai mengeras lagi. Tanganku masih menutupi lubang pantatku, menekan dalam-dalam dildo, seakan-akan hal itu dapat membuat ayahku lupa apa yang sudah dilihatnya.
"Coba kamu bilang, Wendy. Kita sama-sama udah dewasa. Apa enaknya?" tanyanya lagi, tangannya menarik tanganku dari pantatku. Dildo sepanjang 20 cm itu terdorong keluar dengan sendirinya.
Sesaat aku ragu apa aku perlu menjawabnya. Tapi aku tahu kedua kalinya ayahku bertanya adalah saatnya bagiku untuk menjawab. "Enak aja pa. Di..didorong nekan prostat gitu."
Mendengarnya, ayahku melihat ke arah wajahku. Satu ujung bibirnya naik, tersenyum heran mendengarku. Lalu ayahku kembali melihat ke arah dildo yang masih tertancap di lubang pantatku. Saat itu juga aku tersadar dengan bulu-bulu di sekitar lubangku, dan malu akan hal itu--malu dengan badan sendiri, aku mencoba menutupinya kembali dengan tanganku. Tapi tangan ayahku menepis tanganku dan menggengam dildo itu. Tanpa aba-aba ditariknya, cukup cepat dalam sekali tarikan, membuatku mengerang kesakitan.
Melihat bentuk dildo itu--seakan ayahku baru tersadar bahwa itu bukan sembarang batang, tapi sebuah dildo--ayahku menggeleng-gelengkan kepalanya sekali lagi. "Papa heran kamu beli di mana barang kayak gini. Untung tadi yang masuk papa, bukan mama atau adik-adik kamu. Setidaknya lain kali inget kunci dulu."
Aku agak terheran mendengarnya--tapi aku menjawab, "Iya pa". Seakan dia tidak masalah jika aku melakukan ini lagi di kemudian hari. Lalu ayahku menegakkan badannya, meletakkan dildo yang masih basah itu di ranjang, dan bergerak mendekatiku. Wajahnya tepat di depan mataku, dahinya menempel dahiku. "Wendy," katanya pelan. "Kasih papa lihat kamu mainin ini. Papa mau lihat."
Melihatnya sedekat itu, mendengar kata-katanya dari sedekat itu--semua kata-kata itu terasa menghipnotisku. Dan aku, tanpa berpikir, mengangguk. Ayahku berdiri, lalu berjalan menuju pintu kamarku dan menguncinya. Kepalanya menoleh ke arah kain gorden yang menutupi pintu kaca balkon, sepertinya mengecek kalau-kalau ada cela. Lalu dia menarik kursi dari meja belajarku dan duduk. Kepalanya mengangguk, memberiku tanda untuk mulai.
Aku membalasnya dengan mengangguk kecil, wajahku tak berekspresi. Masih bingung, masih bertanya-tanya dalam hati kenapa ayahku membuat permintaan semacam itu, aku membungkukkan badan dan memanjangkan lenganku untuk mengambil dildo berwarna hitam itu. Dildo sederhana, tanpa ada guratan maupun fungsi tambahan, cukup lentur. Aku tahu ayahku straight, dan cukup playboy. Aku sering memergokinya memperhatikan cewe-cewe seksi kalau kita sedang jalan bareng di luar. Teman-teman prianya bukan tipe metrosexual. Dan banyak faktor-faktor lain yang membuatku berkesimpulan bahwa ayahku seorang pria straight tulen. Ayahku cukup ganteng--kita tidak terlalu mirip. Di usianya yang ke-48, badannya terlihat masih fit, dan kulitnya kencang. Seluruh tubuhnya penuh dengan tato, yang notabene dulu ditambahkannya tiap kali dia mengalami stress. Dan aku melihat ke arah selangkangan ayahku, tidak terlihat ada tonjolan. Berbagai pertanyaan muncul di benakku, tapi aku tidak berani mengulur-ulur waktu.
Aku mengambil botol pelumas dari meja kecil di samping ranjangku. Kuoleskan pelumas pada dildo, kuusapkan dengan rata. Lalu aku berbaring dengan sedikit bersandar pada punggung ranjang. Aku membuka kedua pahaku, menekukkan keduanya di kiri dan kanan.
"Hadapin ke sini," kata ayahku.
Cerita selengkapnya
https://karyakarsa.com/ACDC