Waktu itu aku berumur 16 tahun dan aku adalah anak seorang pejabat daerah. Aku tinggal di tempat yang pelosok, kebetulan daerah itu sedang dalam tahap pengembangan, letaknya di dekat laut dan rumahku dekat kaki gunung yang juga tak jauh dari laut.
Ayah dan ibuku setiap hari selalu pergi, entah itu rapat, penyuluhan atau apapun itu. Hari itu ayah bilang padaku untuk memberikan amplop pada Pak Pardi, tukang kebun yang berusia 40-an, berambut keriting tingginya mungkin sekitar 160 cm-an dan berbadan kekar dengan kulit kecoklatan terbakar matahari. Pak Pardi sedang mengurus kebon ayah.
Sore itu sekitar jam 4-an, aku pakai sepeda pergi ke kebon. Sesampai di gubuk tempat Pak Pardi biasa istirahat dia tak ada. Jadi aku cari sambil sesekali memanggil. Ternyata dia ada di pinggir kolam ikan, sedang menanam bibit jati. Aku biasa melihat Pak Pardi bekerja hanya memakai celana panjang dan tak berbaju, badannya keren sekali. Tapi hari ini pemandangan itu berubah, kulihat Pak Pardi hanya memakai celana kolor berwarna biru yang sudah hampir pudar warnanya.
Perlahan aku dekati dan berusaha tak membuat suara. Kontolku seketika ngaceng, apalagi semakin aku dekat dengannya aku semakin jelas melihat celana kolornya sudah tidak ketat lagi, karetnya sudah kendor sehingga karetnya turun dan disatu sisi aku melihat tonjolan yang lumayan besar, lalu disisi samping kiri dan kanannya aku melihat jembutnya yang menyeruak.
Lalu dia mengambil bibit dan menungging untuk menanamnya. Ternyata bagian bawah celana kolornya robek lumayan besar, sehingga salah satu biji pelernya sedikit keluar. Aku menahan nafas dan kuperbaiki posisi kontolku karena terasa sangat tidak nyaman. Aku berusaha menenangkan diriku, lalu aku pura-pura memanggil namanya lagi. Dia menengok dan sedikit kaget melihat aku sudah di dekatnya. Dia memperbaiki celana kolornya dan berusaha senyum meski aku tahu dia sedikit canggung.
"Pak, ini ada titipan dari ayah," ujarku sambil menyerahkan amplop dari kantong celanaku.
"Oh makasih Mas," katanya dengan mimik bingung akan ditaruh dimana amplop itu.
"Sini, aku bantu taruh Pak Pardi, di deket celana ya?" kataku sambil mengambil lagi amplop itu dari tangannya dan berjalan ke arah celana Pak Pardi yang di alasi daun pisang lebar tak jauh dari tempatnya menanam.
"Lagi apa sih Pak Pardi?" tanyaku lagi.
"Ini Mas, tanem bibit jati bapak, sudah selesai sih, bapak suruh ambil ikan buat acara besok jadi saya lepas celananya biar nggak kotor,"
"Oh," ujarku maklum.Lalu kulihat dia mengambil jala besar dan melemparkannya ke arah kolam. Setelah beberapa lama, dia turun ke kolam dan air kolam setengah pinggang membasahi tubuhnya. Lalu dia menarik jala itu, kelihatannya dia sedikit kesusahan sehingga aku bantu dia menarik dari atas. Banyak sekali ikannya. Pak Pardi kemudian naik ke atas, dan saat itu kepala kontol Pak Pardi menyembul dari sisi samping celana kolornya, dan karena celana kolornya basah, tercetak jelas bagian rahasia Pak Pardi.
"Pak, kepalanya keluar tuh," ujarku sambil tertawa. Dia melihat ke bawah dan ikut tertawa sambil memasukkan kepala kontolnya, sungguh erotis.
Lalu dia nongkrong di atas jala untuk membersihkan beberapa kotoran sebelum mengambil ikan. Aku tak mensia-siakan kesempatan itu dan segera ikut nongkrong di depannya sambil berusaha membantu padahal tujuanku hanya ingin melihat kontolnya. Benar saja, karena kolornya basah menjadi agak berat sehingga merosot, kali ini aku bisa melihat jembutnya di bagian atas ban karet kolor tersembul keluar.
"Pak Pardi, tuh jembutnya keliatan," dia kembali tersenyum lalu menaikkan celananya sedikit.
"Enak ya Pak Pardi"
"Enak apanya Mas"
"Pak Pardi sudah jembutan, pasti lebet. Aku pengen banget punya jembut"
Dia tertawa dan kemudian berkata, "Lah pasti seumur Mas sudah ada"
"Iya sih, tapi pasti nggak selebat Pak Pardi" dan kulihat dia hanya tersenyum lagi.Selesai sudah tugas dia hari itu, setelah membawanya ke pondok, masih dengan celana kolornya Pak Pardi membawa ember kecil.
"Mau kemana Pak?" tanyaku.
"Ke pancuran," jawabnya. Di kebon ayahku ini ada pancoran air dari bambu, sumbernya dari aliran air di gunung.
"Aku ikut ya Pak, serem disini sendirian"
"Lah, aku mau mandi kok ikut"
"Nggak apa-apa lah Pak, aku ikut yah"
"Ya sudah ikut saja"Sambil berjalan aku mencoba memancing ke arah pembicaraan yang lebih saru.
"Pak Pardi masih suka ngocok nggak?"
Dia terlihat kaget dengan pertanyaanku, tapi dia menjawabnya, "Ya kadang-kadang"
"Berapa kali Pak sehari"
"Yah nggak tiap hari. Kalo istri mau malemnya ya hari itu saya tidak ngocok".
"Kamu suka ngocok," tanyanya kemudian.
"Iya Pak, suka sekali. Hari ini Pak Pardi ngocok nggak"Selesai ku tanya begitu aku lihat ke arah celana kolornya dan semakin gembung saja, bahkan sudah membentuk tenda, sehingga celananya turun dan jembutnya kembali terlihat dan bentuk kepala kontolnya tercetak jelas.
"Sebenernya sih saya nggak rencana ngocok, tapi.."
"Tapi apa Pak?"
"Mas Win sih bikin saya ngaceng nih," ujarnya sambil memperbaiki posisi batang kontolnya.
"Yah kok di benerin sih Pak letaknya, saya suka sekali ngelihatnya"
Pak Pardi menatapku lalu berkata, "Mas win suka ngelihat kontol?"
"Iya Pak. Mm kalo boleh saya mau lihat kontol Pak Pardi, boleh nggak Pak?"Pak Pardi menghentikan langkahnya dan kemudian membalikkan badannya ke arah saya. Dia diam saja, tapi tangannya menurunkan celana kolornya hingga sebatas lutut, sehingga terlihatlah pemandangan yang sangat saya impikan.
Cerita selengkapnya
https://karyakarsa.com/ACDC