Enam

19.1K 818 2
                                    


Teman-teman, cerita ini udah sampai BAB 80 di karyakarsa yaaa

buat yang penasaran bisa langsung kunjungi akunku di sana. 

....

    "Kak."

Ghendis yang baru saja keluar kamar, menoleh dan menatap adiknya yang sama-sama baru keluar kamarnya bersama Kevin. Wajah adiknya tampak memerah dan sedikit berantakan, sementara pria di sebelahnya menatap puas ke arah Chitra.

Cih! Baru selesai setelah dua jam mengurung diri di kamar?

Ghendis mengangguk sekilas dan masuk kembali ke dalam kamar. Tadinya ia ingin mengambil jemuran pakaiannya, namun ia urungkan melihat adiknya yang sepertinya bersiap untuk pamer kepadanya.

"Kakak kamu judes sekali," gerutu Kevin tidak suka.

Chitra hanya tersenyum. Ia memegang tangan Kevin. "Kita makan yuk!"

Kevin mengangguk. "Mau pesan makan?"

"Jangan! Mama aku udah masak Mas, nanti kalau enggak makan pasti Mama sedih."

Kevin mengelus pipi Chitra dengan lembut. "Kamu benar-benar gadis yang sangat baik. Mas beruntung bisa dekat sama kamu,"

Chitra merona. "Apaan sih Mas? Yuk turun!"

Mama melihat Chitra dan Kevin baru saja turun dengan wajah sumringah, sementara Papa di sampingnya mengerutkan kening tidak suka. Perempuan laki-laki berduaan di kamar berjam-jam tentu tidak ia sukai. Sejak dulu Papa tidak setuju jika Chitra membawa kekasihnya ke dalam kamar, tetapi istrinya menganggapnya 'kuno' dan mengatakan bahwa jaman sudah berubah.

Tetapi, walaupun perkembangan jaman sudah berubah, bukankah tanggung jawab orangtua tidak berubah? Rasanya Papa seperti menjual putri kesayangannya pada lelaki.

"Papa kenapa? Sakit?" tanya Chitra memeluk pinggang Papanya.

Papa menatap Chitra, putri keduanya yang cantik, sukses dan menjadi kebanggaan keluarga. Setiap acara keluarga, Chitranya selalu menjadi pusat perhatian, di usia yang masih 26 tahun, putrinya sudah bisa memiliki mobil, rumah bahkan saat ini Chitra tengah mencari apartemen sebagai investasi.

Tentu saja sebagai orangtuanya, Papa merasa sangat bahagia.

Namun, melihat Chitra yang bersinar, membuat Papa teringat putri sulungnya yang selalu tampak muram. Ghendis, gadis pertamanya yang menghabiskan diri di dalam kamar.

Berbeda dengan istrinya yang acuh pada Ghendis, Papa sangat memperhatikan Ghendis diam-diam. Selalu memberi uang untuk putrinya, membelikan makanan dan membelikan baju. Ghendis memang sempat mengecewakannya karena gadis itu memilih resign kerja, tetapi Papa tidak bisa menyalahkannya karena dirinya dan istrinya turut andil dengan keputusan Ghendis.

Sejak kecil, Ghendis sudah diatur oleh dirinya dan istrinya karena ia adalah anak pertama mereka. Sebagai orangtua baru, tentu mereka ingin kehidupan putrinya begitu cerah dan sempurna. Dari pakaian, sekolah, hobi, pergaulan, kursus, itu semua pilihan mereka tanpa melibatkan Ghendis di dalamnya.

Dan akhirnya Ghendis memberontak dengan memilih resign kerja dan menutup dirinya.

Papa menatap Chitra dan menepuk kepalanya. "Makan dulu sana, Papa mau ke kamar."

Mrs 30Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang