Chitra terkejut dengan ucapan Papanya. Ia segera menatap Mamanya yang duduk di sebelah Papa dengan tenang. "Ma, ini bercanda kan?"
Mama menggelengkan kepala dan menatap suaminya dengan sendu. Sementara Ghendis masih terdiam seakan mencerna apa yang diucapkan Papa masih ia olah.
"Mas, tolong dong bilang sesuatu sama Papa! Kita kan udah rencana buat nikah pas ulangtahun aku, kalau nunggu Kakak nikah duluan itu bakalan lama banget."
"Kamu enggak usah khawatir. Mama udah kontakan sama teman SMA Mama dan mencoba buat ngejodohin kakak kamu sama anaknya. Semoga yang kali ini cocol! Udah kamu tenang aja, tetap fokus buat acara lamaran, enggak akan berubah."
Ghendis menatap Mamanya dengan sebelah alis terangkat. "Maksud Mama? Aku enggak mau perjodohan lagi." Tolak Ghendis.
"Lalu kamu mau nikah sama siapa? Enggak kasihan kamu sama adik kamu hah?" Ghendis menatap Papanya yang kini berkeringat dingin. "Papa, Papa kenapa?"
"Papa agak cape. Ayo antar Papa ke kamar," Ajak Papa dan Ghendis merangkul tangan Papa.
Setelah masuk ke dalam kamar, Ghendis membantu Papa untuk berbaring di tempat tidur. Papa menepuk sisi kosong untuk Ghendis duduk.
Ghendis memperhatikan Papanya. 2 minggu tidak bertemu, mengapa Papanya nampak rapuh? Rasa takut, khawatir berkecamuk di dadanya. Bagaimana pun, Papanyalah yang paling sayang dirinya dan selalu membelanya.
"Pa, Papa sudah ke dokter?"
"Sudah Kak, Papa sudah ke dokter."
"Papa sakit apa? Pucat banget sama kurusan. Papa mau makan apa? Nanti aku beli, Papa mau steak yang waktu Chitra bawa? Aku pesan ya?"
Papa menahan tangan Ghendis yang hendak beranjak dan menggelengkan kepala. "Papa enggak mau makan, lagipula mulut Papa juga pahit. Bagaimana kerjaannya? Lancar?"
Ghendis mengangguk, matanya masih mengamati Papa dengan waswas.
Papa menghela nafas, tampak kewalahan dengan dirinya sendiri namun wajahnya masih menyunggingkan senyum pada Ghendis. "Sebelum Papa pergi, hal yang paling Papa ingin itu melihat Kakak menikah."
"Papa jangan bilang gitu."
"Biar Papa tenang kalau tahu ada yang jaga Kakak, ada yang sayang sama Kakak . Papa enggak terlalu khawatir sama adik kamu, Cuma Kakak yang selalu bikin Papa keingetan terus."
"Karena aku selalu bikin masalah?"
Papa menggelengkan kepala. "Kakak anak baik, enggak pernah bikin masalah. Malah, Mama Papa yang selalu menyulitkan hidup Kakak." Ucap Papa lembut.
Ghendis menundukkan kepala, menutupi matanya yang sudah berkaca-kaca. Ini pertama kalinya ia dan Papa berbicara seperti ini.
"Papa ingin lihat Kakak menikah, itu keinginan terakhir Papa."
Ghendis mengangkat kepalanya dan mengernyitkan alis. Menggenggam tangan dingin Papa. "Papa enggak boleh bilang gitu. Papa masih banyak waktu buat lihat aku menikah dan lagi tidak adil buat Chitra kalau aku harus menikah terlebih dahulu. Aku enggak apa-apa kok kalau dilangkahi sama Chitra ataupun Abi."
"Papa enggak mau Kakak mengalah dan korban perasaan lagi. Kakak juga berhak bahagia..."
Ghendis tersentak mendengar ucapan Papa
. Berhakkah gadis gagal dan selalu mengecewakan orangtuanya ini bahagia? Bolehkan?
Setelah keluar dari kamar Papa, Mama menarik tangannya dengan bersemangat sementara Chitra nampak duduk lesu di sebelah Kevin.
"Nanti sore kamu ikut sama Mama."
"Kemana Ma?" malam ini Hiro dan Akira sampai, Ghendis berencana untuk menyambut Ayah dan anak itu.
Mama menunjukkan layar HP pada Ghendis. Ghendis menerutkan kening melihat foto pria berpakaian seragam polisi. "Ini teman anak Mama waktu sekolah, masih lajang dia lebih muda 3 tahun dari kamu tapi enggak jadi masalah, kalian masih tetap cocok kok. Dia ini polisi, mapan, punya rumah sendiri juga cuma belum menikah aja. Nah, Mama mau jodohin kamu sama dia."
"Ma, aku enggak mau dijodohin lagi."
"Maksudnya? Kamu tahu kan, pernikahan adik kamu bisa terlaksana itu kalau kamu menikah juga? Udah enggak usah nolak! Mama udah feeling kalau ini calon mantu Mama. Nanti sore Mama udah atur buat kalian ketemu."
"Ma, aku enggak mau.. tolong, hargai keputusan aku."
Mama melotot. "Hargai keputusan? Sejak kapan Mama enggak menghargai keputusan kamu? Kamu resign kerja, kamu pikir Mama enggak hargai keputusan kamu hah? Kamu itu sudah 30 tahun! Sepupu-sepupu kamu sudah pada punya anak, bahkan sudah sukses. Tapi kamu?"
Pertahanan diri Ghendis akhirnya runtuh. Gadis tanpa ekspresi yang selalu memendam perasaannya, akhirnya tak mampu lagi menahannya. Air mata mengalir dari mata gadis itu. Chitra terkejut memandang Kakaknya karena ini pertama kalinya Ghendis menangis.
"Tahu Ma! Aku tahu kalau aku bukan anak kebanggaan, aku selalu bikin kalian kecewa dan khawatir. Aku tahu Ma! Aku selalu berbeda dengan Chitra ataupun Abhi!! Tapi... tapi... apa salah jika aku juga ingin diberi pilihan? Seperti Chitra dan Abi yang memiliki kebebasan, aku juga mau diberi kebebasan tanpa harus di cap sebagai anak pembangkang." Ucap Ghendis terisak.
"Aku selalu diam setiap Mama merendahkan aku di depan keluar, aku selalu diam setiap Mama merayakan ulangtahun adik-adikku tetapi jika aku ulangtahun Mama selalu acuh, Mama hanya bangga kalau aku juara satu, tapi jika aku turun peringkat Mama selalu marah tanpa menghargai proses belajar aku yang sampai mimisan hanya untuk menjadi kebanggaan Mama.
Apa... Mama sebenci itu sama aku? Aku juga enggak mau terlahir bodoh seperti ini! Tapi Ma.. aku anak Mama kan? Aku juga punya hati. Hati aku selalu sakit kalau Mama pilih kasih antara aku sama adik."
Chitra dengan cepat menghampiri Ghendis dan mengusap bahu Kakaknya. Sementara Mama memunggungi Ghendis, tidak ada yang tahu bagaimana ekspresi Mama.
"Aku enggak mau dijodohin! Pernikahanku adalah satu untuk selamanya, biarkan aku memilih sendiri siapa suami aku!!" teriak Ghendis dan pergi ke atas menuju kamarnya.
Mama menghela nafas dan diam-diam mengusap matanya. Berbalik tersenyum pada Chitra. "Ajak Kevin makan, Mama enggak enak badan." Ucap Mama lalu masuk ke dalam kamar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mrs 30
ChickLitGhendis, gadis berusia 30 tahun seorang pengangguran dan jomblo sejati. karena kondisinya ia selalu dikucilkan keluarganya dan juga diejek oleh teman-temannya yang sudah sukses di usia 30. pertemuan pertamanya dengan seorang CEO duda merubah hidupn...