Bab 39

10.6K 576 1
                                    


              Ghendis menatap dirinya di kaca. Matanya sembab karena hampir 2 jam ia menangis. Rasanya memalukan karena setelah sekian lama, ia menangis di depan orangtuanya apalagi ada Chitra dan Kevin yang melihatnya.

Ghendis melempar kain dingin yang digunakan untuk mengompres. Percuma ia memakainya, sama sekali tidak mengurangi mata bengkaknya.

Perut Ghendis terasa lapar, namun ia tidak berani keluar. Tetapi perutnya terus menerus protes minta diisi. Apalagi ia harus segera pergi, sebentar lagi sore dan jalanan akan macet.

Ragu-ragu Ghendis keluar kamar berharap tidak ada siapa-siapa di luar. Ia berjalan pelan menuju bawah dan menemukan Ibunya yang sedang duduk di meja makan. Ibunya segera berdiri tanpa menatap Ghendis membuat gadis itu merasa semakin sedih.

"Makan dulu, Mama sudah belikan baso." Ucap Mama menyimpan mangkok dan memasukkan baso yang masih berada di plastik ke dalam mangkok.

Ghendis melihat label plastik baso. Itu baso favoritnya yang jarang ia beli karena harganya mahal! Hatinya begitu terharu karena Mama membelikan baso favoritnya. Padahal sebelum-sebelumnya Mama pasti membeli baso kesukaan Abi ataupun Chitra.

Mama kembali ke dapur dan membawakan minuman yang ternyata jus naga, lalu membuka toples berisi kerupuk. Mama tahu jika Ghendis tidak bisa makan tanpa kerupuk.

"Perut kamu pasti lapar. Makan dulu,"

Ghendis mengangguk dan duduk sementara Mama duduk di sebelah Ghendis mengamati gadis sulungnya makan.

Mama merasa bersalah apalagi ketika Ghendis menangis keras di hadapannya untuk pertama kalinya. Gadis itu selalu diam, menyendiri dan mengasingkan diri yang seringkali membuatnya merasa khawatir. Ia tahu jika pengasuhannya kepada Ghendis salah sehingga membuat Ghendis memiliki sifat pemurung.

Ia tidak pernah membenci Ghendis. Ghendir putri kandungnya, anak pertama yang dinantikannya, mana mungkin ia membencinya. Hanya saja, Mama memiliki harapan besar pada Ghendis. sejak kecil Ghendis cemerlang, selalu juara, ia berharap Ghendis menjadi PNS begitu lulus kuliah agar memiliki kehidupan stabil.

"Ma," panggul Ghendis pelan.

"Hm?"

"Aku enggak mau dijodohin."

"Ketemu sebentar enggak bisa?" tanya Mama dengan nada lembut.

Ghendis terdiam. "Papa... sakit apa? Kenapa Papa tetap ingin aku nikah terlebih dahulu?"

Mama terdiam nampak sendu mengingat kondisi cinta sejatinya. "Kamu tahu kan kalau Papa sakit jantung?"

Ghendis mengangguk. Papanya memang memiliki penyakit jantung.

"Kemarin kambuh dan kondisinya semakin parah, seharusnya Papa kamu dirawat di rumah sakit. Ini juga masih pantauan, kalau kerasa lagi Papa harus opname." Mama menghela nafas. "Chitra bahkan tidak tahu kalau kemarin Papa kambuh dan kata dokter kondisi Papa semakin parah dan bisa kemungkinan meninggal."

Ghendis menjatuhkan sendoknya menatap shock. "Ma, lebih baik Papa segera di bawa ke..."

"Percuma." Potong Mama. "Papa enggak mau! Mama sudah berkali-kali bujuk bahkan sampai nangis tapi Papa tetap enggak mau. Maunya di rumah aja, Papa juga udah enggak kerja dari kemarin. Dari kemarin Papa terus-terusan bilang ingin lihat kamu nikah."

Ghendis mengepalkan tangannya.

Mama menggenggam tangan Ghendis. "Sekali saja bertemu sore ini. Kalau kamu enggak cocok, kita bisa usaha lagi., setidaknya... sekali aja ketemu. Atau kamu udah punya pacar?"

"Pacar?" tanya Ghendis ulang. Wajah Hiro terbayang di kepalanya. Haruskah ia memberitahu Mamanya? Namun Hiro... ia bahkan belum menjadi sukses bagaimana bisa ia cocok berada di sampingnya? "Enggak ada Ma."

"Coba sekali ya? Sebentar aja!"

Ghendis terdiam dan mengangguk.

Selesai makan, Ghendis berjalan keluar menuju supirnya yang sudah menunggu di dekat rumah. "Saya nginap di sini, nanti saya yang akan kasih tahu Hiro. Bapak bisa pulang."

Supirnya mengangguk dan masuk ke dalam mobil. Setelah mobil pergi, Ghendis berbalik dan sedikit terkejut melihat Kevin yang berada di teras rumah menatapnya. Mencoba mengabaikan ia masuk ke dalam rumah.

Ghendis hendak memberitahu Hiro jika ia tidak akan pulang dan bersamaan Hiro memberitahunya jika ia harus berada di Jakarta selama 3 hari dan membawa Akira.

Sore harinya, Ghendis bersama Mama berada di restoran tempat Mama janji bertemu dengan temannya, Tante Ara.

Tante dan putranya bernama Erick sudah sampai terlebih dahulu, kesal awal Ghendis pada sosok Erick cukup baik. Pria itu sopan, ramah dan menghormati Ibunya.

"Mereka sangat antusias menjodohkan kita." Ucap Erick sepelan mungkin ketika kedua Ibu lincah itu meninggalkan mereka berdua.

Ghendis melirik Mama yang duduk di meja sudut seakan menyemangatinya. "Yah.. memang Mamaku antusias,"

Erick tersenyum sambil memotong daging di piringnya. Ketika Ghendis hendak memotong steak miliknya, Erick tiba-tiba mengambil piringnya dan menukar dengan steak yang sudah ia potong.

"Hmm... makasih." Ucap Ghendis yang diangguki Erick.

"Di sini steaknya enak."

"Oh,"

"Ini sebenarnya ketiga kalinya saya ke sini. Sebelumnya saya ke sini bersama teman kerja karena tempat ini langganan kantor saya. Oh iya kamu bisa cobain pancakenya, nanti saya pesanin ya."

"Makasih."

Ghendis diam-diam melirik Erick. Lelaki itu nampak tidak canggung mengajak dirinya mengobrol, padahal Ghendis hanya merespon seadanya. Ia memang sulit berinteraksi dengan orang baru. Namun kesannya pada Erick semakin baik. Erick pria tersopan diantara lelaki yang dikenalkan Mamanya. Bahkan dulu pernah ada yang kabur karena melihat dirinya yang sangat pendiam.

Lagipula Ghendis tidak mau menutupi sifatnya. Bukankah tujuan utama perjodohan itu menikah? Bagaimana bisa menutupi sifat pada calon partner hidup yang akan menghabiskan waktu seumur hidup dengannya. Lebih baik mundur di awal daripada terlambat.

Kembali lagi Ghendis diam-diam masih mengamati Erick. Tubuh pria itu tegap, kekar layaknya polisi dan memiliki rambut cepak serta kulit sawo matang seperti dirinya. Ghendis mencoba membandingkan dengan Hiro yang memiliki wajah putih mulus, rambut yang tertata rapi, ekspresi dingin dan terkadang memiliki sifat menyebalkan.

"Kenapa?" tanya Erick pada Ghendis yang nampak melamun.

Ghendis menatap Erick beberapa detik dan kembali makan dengan hambar. Diam-diam meringis.

Ia rindu Hiro.

Mrs 30Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang