Mrs 30 sudah tamat di karyakarsa!!
yuk kunjungi lapaknya di sana, yang mau boleh nanti aku share link nyaaa
"20 JUTA???" Pekik Ike kaget mendengar cerita Ghendis.
Ghendis melempar selembar tisu ke wajah Ike. "Bisa kecilin suaranya? Orang-orang pada lihatin kita."
Ike menatap sekelilingnya dan tersenyum malu-malu. "Eh seriusan lo di gaji 20 juta? Enggak hoax kan?"
Ghendis mengendikkan bahu.
"Kalau di tipu gimana? Gimana kalau itu mafia yang masukin lo ke prostitusi? Lo tuh harusnya jangan langsung mengiyakan , lo cari tahu latar belakang itu keluarga!!"
"Bapaknya motivator kok."
"Motivator? Lo bilang dia duda?"
"Iya, motivator single parents gitu." Jawab Ghendis sambil memakan kue yang dipesankan Ike.
"Lo udah cek orangnya di internet kayak gimana?"
Ghendis menggelengkan kepala. "Gue enggak tahu nama Bapaknya siapa."
Ike menganga. "Ghendis?? ya ampun lo tuh ceroboh banget sih! Lo pikir-pikir lagi deh buat ambil job itu! Kalau gaji gede tapi ternyata bahaya gimana? Apalagi Bapaknya duda dan lo gadis, kalau lo kenapa-napa gimana?"
"Gue aman kok."
"Apa yang menjamin kalau lo bakalan aman?"
Ghendis mengetukkan jarinya di atas meja, matanya merenung ke depan mengingat wajah menggemaskan Akira yang memeluk kakinya dan tertawa bersamanya ketika mereka memberi makan ikan koi. "Gue yang menjamin."
"Tapi..."
"Cukup! Gue cuma mau minta bantuan lo aja untuk kasih alasan ke keluarga gue, untuk keselematan gue, gue bisa jaga diri." Ghendis menghela nafas menyentuh tangan sahabatnya. "Ke, gue juga enggak tahu bagaimana keluarga Akira tapi... hati gue ngerasa kalau gue bakal baik-baik aja. Seenggaknya... seenggaknya... Akira membutuhkan dan menerima gue."
Ike terdiam mengamati sahabatnya yang tampak merenung. Ia tahu bagaimana perlakan keluarga Ghendis pada Ghendis. bagaimana sahabatnya tertekan yang membuatnya menjadi introvert. "Kalau gitu, kalau ada apa-apa lo harus kasih tahu gue. Lo harus ngabarin gue setiap hari! Kalau enggak gue bakalan lapor polisi."
Ghendis mengangguk
......
Sesampainya di rumah, jam menunjukkan pukul 11 malam. Ketika Ghendis memarkirkan motornya, Ghendis terkejut pintu rumah terbuka dan Ayahnya keluar dengan wajah khawatir.
"Kak, darimana aja? Papa nelponin enggak di angkat!"
Ghendis mengambil Hpnya di saku jaket dan melihat panggilan tak terjawab dari Ayahnya. "Tadi di silent Pa, maaf."
Papa menghela nafas lega. "Mama kamu sudah tidur, baru saja. Ayo cepat masuk ke dalam rumah pasti badan kamu dingin. Papa bikinin susu hangat ya?"
Ghendis mengangguk dan Papa segera menuju dapur untuk membuatkannya segela susu. Ghendis menatap punggung Papanya. Diantara semua keluarga, yang paling menyayanginya hanya Papanya. Papa tidak pernah marah akan keputusannya, Papa juga tidak mengeluh ketika ia lebih banyak menghabiskan waktu di dalam kamar.
Papalah yang diam-diam memberikan uang jajan untuknya, merawatnya ketika ia sakit sepulang kerja, membuatkan susu untuknya dan...
"Ini tadi Papa udah pisahin martabak. Pizza sama nasi goreng buat kamu." Papa memberikan satu piring penuh berisi makanan.
Ghendis menatap Papanya. "Makasih Pa,"
Papa menepuk kepala putri sulungnya dengan sangat lembut, lalu menyimpan segelas susu di depan Ghendis. "Sebelum tidur jangan lupa cuci muka, sikat gigi, oh iya adik kamu, Abi tadi bawain oleh-oleh baju buat kamu." Papa menunjuk goodie bag di atas sofa.
"Pa, besok aku pindah dari rumah."
Papa terkejut mendengar pernyataan putrinya. "Kenapa? Apa karena Mama kamu? Papa mengerti kalau Mama kamu terkadang sedikit tega sama kamu, tapi sebenarnya Mama kamu mengkhawatirkan kamu, Kak. Sejak dulu Mama kamu memang sulit memperlihatkan isi hatinya tapi Kakak harus percaya kalau Mama sangat menyayangi kamu."
"Bukan begitu Pa, aku keluar dari rumah untuk bekerja dan aku akan tinggal bersama Ike."
"Kenapa di rumah Ike? Kerja di mana Kakak? Bukannya Kakak mau jadi komikus?"
"Menjadi komikus itu mimpiku, Pa. Tapi... aku butuh penghasilan yang ingin aku beli, kebetulan aku dapat kerja di dekat rumah Ike."
"Kerja apa?"
"Mengajar privat."
"Tapi kenapa harus tinggal di rumah Ike? Bukannya itu bakalan ngerepotin Ike, kak?"
"Justru aku direkomendasiin sama Ike buat ngajar anak itu dan ini ide Ike buat tinggal di rumahnya. Ike juga tinggal sendiri dan kesepian, aku juga akan ikut membayar kebutuhan jadi ngeringanin Ike. Pa, bantu aku bilang ke Mama ya? Tolong."
"Sebenarnya Papa masih berat untuk Kakak tinggal di luar rumah. Kalau Kakak cape, Papa bisa anter jemput Kakak sepulang kerja. Tapi.. Kakak udah besar, bisa memutuskan sendiri kehidupan Kakak. Papa... Papa enggak mau mengulang kesalahan untuk yang kedua kalinya."
Ghendis menundukkan kepalanya dan meminum susu hangat, mengontrol emosinya dan bersikap tenang.
Papa menatap putri sulungnya yang memang jarang memperlihatkan emosinya. Dulu, Ghendis adalah gadis periang, cerewet, pintar, memiliki rasa ingin tahu yang kuat dan enerjik. Ghendis yang cantik menjadi kebanggaan mereka, bahkan gadis itu selalu menjadi juara kelas sejak SD hingga SMA.
Namun, sinar cahaya gadis itu menghilang begitu ia remaja. Papa tahu jika ini kesalahannya dan istrinya yang selalu membuat Ghendis menuruti keinginan mereka, melupakan hak Ghendis sebagai seorang anak. Terutama istrinya yang selalu menuntut Ghendis untuk menjadi yang terbaik.
Belajar dari kesalahan sehingga dirinya dan istrinya tidak ingin melakukan kesalahan kedua kepada adik-adik Ghendis dan membiarkan mereka memilih keinginan mereka tanpa paksaan.
"Baik, Papa akan bantu untuk bicara ke Mama."
"Makasih Pa,"
"Kakak sudah beres-beres barang yang akan di bawa?"
"Sudah."
"Besok Papa antar ya pakai mobil."
Ghendis sedikit menegang, gadis itu berdeham pelan. "Enggak usah Pa, aku langsung ke rumah muridku, lagipula aku cuma bawa satu koper dan tas ransel aja."
Papa mengangguk mengerti. "Kalau gitu cepat habiskan susunya dan tidur, sudah larut malam. Papa duluan ke kamar ya,"
"Selamat tidur Pa,
" "Selamat tidur, Kak."
Begitu Papa masuk ke dalam kamar, Ghendis menghela nafas lega. Beruntung Ayahnya tidak banyak bertanya dan memaksa untuk mengantar. Jika tidak Ayahnya akan tahu jika ia berbohong.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mrs 30
ChickLitGhendis, gadis berusia 30 tahun seorang pengangguran dan jomblo sejati. karena kondisinya ia selalu dikucilkan keluarganya dan juga diejek oleh teman-temannya yang sudah sukses di usia 30. pertemuan pertamanya dengan seorang CEO duda merubah hidupn...