11

14 3 6
                                    

Kereta api yang membawa Tya, Asa, dan Kala pulang ke kota asal mereka mulai bergerak, pukul empat sore mereka langsung kembali ke Kota Turangga, tanpa mampir kesana-kemari setelah menunggu Kala mengurus administrasi. Gedung-gedung putih khas stasiun sudah tak terlihat, digantikan oleh penampakan rumah-rumah milik warga sekitar.

Tya menaruh tasnya di lantai lagi, berusaha membuat kursi untuk dua orang itu terasa nyaman tanpa ada yang mengganjal di tengah-tengah, sementara Asa menitipkan tasnya di samping Kala, bersebelahan juga dengan tas selempang milik Kala. Mumpung penumpang di kursi itu masih belum datang, sama keadaannya seperti saat Tya dan Asa berangkat tadi.

"Jadi, bagaimana kamu bisa mengenal Ira?" Kala membuka percakapan, dia sudah sangat penasaran dengan cerita Tya.

Tya menoleh pada Kala yang sangat siap mendengarkan ceritanya, begitupun dengan Asa yang menatap Tya serius. Tya jadi agak gugup, rasanya seperti sedang diinterogasi. Tya berdehem sebentar menata pita suaranya. "Aku tidak sengaja mengenalnya lewat media sosial."

Kala mengangguk. "Sudah berapa lama?"

"Sekitar ... tiga tahun," jawab Tya, dia masih merasa gugup dengan situasi ini. "Apa Ira adalah orang yang pendiam? Aku dan Asa tadi berdiri di depan sekolah dan bertanya-tanya, tapi tidak ada yang mengenalnya. Kamu juga bilang tadi, kalau kamu adalah teman Ira satu-satunya."

Kala tersenyum kecil. "Ira itu terlihat seperti anak yang aneh, tidak ada yang mau berteman dengannya," katanya ringan.

"Tapi kamu berteman dengannya, tuh?" Tya heran, Kala terdengar seperti mengejek dirinya sendiri karena berteman dengan Ira.

Kala mengangkat bahunya. "Aku kan sudah tahu bagaimana Ira yang asli. Kamu sendiri, sudah tiga tahun berteman dengan Ira, apa dia terlihat aneh di matamu?"

Tya berpikir lagi. "Sebenarnya Ira tidak seaneh itu, sih, masih bisa diwajarkan. Ira orang yang asik, lebih asik malah dari si Asa."

"Hahaha. Hei, aku masih penasaran kenapa teman-temanmu memanggil Asa, sementara di rumah kamu dipanggil Soma?" Kala melipat kakinya dan menopang dagu menatap Asa, dia terlihat sangat penasaran dengan cerita Asa.

Asa menghela napas kasar. "Nama itu semakin didengarkan, semakin aneh di telingaku. Sebaiknya kamu memanggilku Asa jika ada temanku begini, Kala! Aku merinding mendengarmu memanggilku Soma."

"Soma bagus juga, Sa." Tya ikut menggoda Asa, dia tertawa ketika Asa menatapnya seperti ingin mendorong Tya keluar dari kereta.

"Diam kamu."

Kala dan Tya terbahak mendengar Asa yang cemberut, menggoda Asa sampai dia merajuk adalah kegiatan yang menyenangkan, Tya selalu ketagihan melakukannya.

"Oh iya, Tya. Apa Ira tidak memberitahumu mengenai nama panjangnya?" Kala kembali fokus berbincang dengan Tya setelah puas menertawakan sepupunya.

Tya diam sebentar, otaknya berusaha mengingat-ingat lagi apa yang telah dibicarakannya dengan Ira. "Tidak, kenapa?"

Kala mengangguk-angguk. "Di sekolah, Ira lebih dikenal dengan nama depannya, Varsha. Kalau kamu bertanya begitu tadi, mungkin satu atau dua murid akan tahu siapa orang yang kamu cari." Kala mengambil botol air minum dari tasnya, tiba-tiba merasa haus.

"Aku tidak tahu tentang itu, dia hanya memberitahuku kalau namanya adalah Ira. Jadi kupikir dengan nama itu saja aku bisa mencari tahu keberadaannya." Tya merasa menyesal tidak bertanya-tanya lebih jauh tentang Ira, yang dia pedulikan hanya foto-foto yang diambil oleh Ira.

Kala meminum air yang ada di botol itu tiga kali tegukan, setelah puas melepas dahaga, Kala baru kembali membalas Tya. "Tidak ada yang mengenalnya dengan nama itu, selain aku dan keluarganya. Beberapa orang di angkatan kami juga memanggil Ira dengan nama Varsha."

Sunshine with MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang