31

1 1 1
                                    

Hari kesembilan, 9 Mei,

Tya membuka matanya, kali ini lapangan rumput tidak bercuaca buruk lagi, tapi latar waktunya sedang malam hari. Tidak terlihat cahaya bulan sedikitpun, awan menutupi langit dengan sempurna. Tya sempat panik sebentar karena terlalu gelap, rasanya seperti berada di tengah hutan yang terlantar.

Cahaya terang muncul dari sebuah lentera di sebelah Tya, lentera itu menggantung di udara tanpa tiang dan tidak ada orang yang memegangi, terkesan sedikit horor, tapi Tya malah bersyukur karena ada yang menyelamatkannya. Persetan dengan hantu, satu-satunya yang Tya takuti di alam bawah sadar Ira adalah si Hitam, hantu pun kalah seram dengan wujud Ira yang seperti habis berenang di danau tinta itu.

"Kalau sudah bertemu dengan si Pembawa Badai, kamu bisa memintanya memasang lampu mengelilingi lapangan ini. Aku kasihan padamu yang selalu panik begitu tiba disini saat malam hari."

Tya merilekskan otot-otot wajahnya yang tegang, mendengar suara Sanatana dan mengetahui kalau lentera ini dari kucing putih itu, Tya menjadi tenang. "Terima kasih atas hadiahnya, San."

"Ya," jawab Sanatana singkat.

Tya kembali mengingat rencananya kemarin, seharusnya setelah berada di cabang pertama dan berhasil membawa si mantel hijau pertama, Tya pergi cabang lain. Namun, si Hitam sudah keburu mengusirnya karena bocah yang terus memukul punggung Tya kemarin itu.

Untung saja tidak ada bekas apapun di bahu Tya yang sempat digigit, ah membayangkan rasa sakitnya, Tya kembali meringis. Gigi bocah itu seakan benar-benar menancap dan tertinggal di dalam kulitnya. Tya merinding, semoga saja si mantel hijau yang lain tidak seganas si mantel hijau pertama.

Tya memiliki misi yang ingin dia capai mengenai kepingan memori Ira, setiap hari setidaknya Tya harus pergi ke dua cabang jalan, dalam tiga hari setidaknya sudah hampir semua kepingan terkumpul di jam kayu. Lalu cabang terakhir adalah cabang yang sulit, seperti cabang keenam tempat Tya dan si Hitam pertama kali bertemu, atau cabang ketujuh yang mudah runtuh dan terasa seperti kaset film yang rusak.

Tya harus pergi ke tempat yang mudah dulu untuk saat ini, maka sekolah atau perumahan asing adalah tujuan yang pas karena tidak ada halangan yang berarti di dalamnya. Tya menimang-nimang, sekolah itu terlalu luas dan banyak gang tikusnya, beresiko membuat Tya tersesat, sementara perumahan asing yang penuh kendaraan terparkir itu jalannya sederhana, Tya hanya perlu belok kanan, kiri, lurus, atau berbalik saja.

Baiklah, Tya memutuskan untuk pergi ke cabang ketiga, perumahan asing yang tidak pernah Tya temui di kota tempat tinggalnya. Tya berjalan menuju cabang ketiga, lentera yang ada di dekat bahu kanannya mengikuti, menerangi jalan Tya.

Silau sesaat, dalam tiga langkah, Tya sudah tiba di tengah perempatan. Keadaan perumahan ini masih sama, penuh dengan kendaraan yang terparkir di jalan, ada beberapa lubang yang membuat air hujan menggenang. Tempat ini juga masih gerimis seperti saat pertama kali Tya datang.

Tya berusaha mengingat kemana dia dulu melangkah sampai bisa menemukan si mantel hijau, Tya rasa dia melihat si mantel hijau dari lantai atas sebuah rumah tua.

Tya celingukan, jalan mana yang dulu dia lalui, ya?

Kaki Tya secara alami pergi ke kanan, dimana mobil-mobil parkir hampir memenuhi jalanan. Tya merasa aneh, rumah-rumah disini memiliki lahan yang cukup untuk dijadikan garasi, kenapa pula mobil mereka harus diparkir di luar dan menutupi jalan begini? Kalau Tya tinggal di salah satu rumah ini, mungkin Tya akan memaksa orang tuanya untuk membuat garasi.

Tya masih terus berjalan sambil menoleh kesana-kemari, mencari rumah tua berlantai dua yang beberapa hari lalu dia geledah isinya.

Suara anak kecil terdengar ramai sekali di belakangnya, Tya menoleh, beberapa anak kecil terlihat membawa mainan masing-masing di tangannya dan saling bercengkrama. Tya ingat, dia dulu juga berpapasan dengan mereka, si mantel hijau juga terjatuh dan mengatakan tunggu pada anak-anak ini waktu itu.

Sunshine with MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang