22

4 1 0
                                    

Hari ketiga, 3 Mei,

Semangat Tya masih membara, kali ini Tya datang pukul delapan, dia langsung duduk di kursi yang selama tiga hari ke belakang selalu ditempatinya. Tya sudah menyetel alarm semalam, untuk setiap hari tepat pada pukul 11.30, agar dia tidak telat untuk kembali ke sekolah, menyetor wajahnya kepada alat absen sekolah.

Tya memperbaiki posisi tidurnya menjadi senyaman mungkin, menghadap ke kanan, menatap wajah Ira yang tanpa ekspresi. Tya menghela napas, hari ini setidaknya dia harus mulai menemukan petunjuk mengenai wujud kepingan memori Ira. Sehingga perjalanannya mencari kepingan memori dapat dipercepat.

Ira menutup matanya, dibantu oleh Sanatana, tangan pucat Sanatana mengeluarkan sihir di atas kepala Ira, membuat Ira segera tidur dan memasuki mimpinya. Setelah Ira sudah tertidur pulas, Sanatana mengalihkan tangannya, lalu meletakkan kepala Ira bersandar di meja, seperti yang Tya lakukan.

Tya bisa merasakan napas Ira yang semakin teratur, wajah Ira yang tenang itu membuatnya sedikit terbebani. Apakah Tya bisa menyelamatkan Ira dan membuat gadis itu kembali ke kehidupan aslinya? Semoga saja, Tya punya harapan untuk berbincang dengan si thegreencoat di kehidupan nyata, bukan dunia maya lagi.

"Kenapa kamu tidak segera tidur? Sedang mengagumi wajah Ira?" Sanatana memecah lamunan Tya.

Tya mengerjap beberapa kali. "Ah, maaf." Tya pun menutup matanya, bersiap untuk tidur dan pergi ke alam bawah sadar Ira.

Beberapa menit lengang, tanpa suara, kemudian Tya mendengar suara hujan lagi. Sepertinya Tya sudah tiba di mimpi Ira, dan keadaannya sedang hujan.

"Sudah sampai, buka matamu." Suara Sanatana kembali menggema di telinga Tya.

Tya membuka matanya, hamparan rumput kering dan ilalang tinggi di depannya basah terkena air hujan. Lapangan dengan jam kayu besar di tengah-tengah itu terlihat seperti rawa-rawa. Siang hari, dengan hujan yang cukup deras, sepertinya sudah lama hujan datang hingga membuat air menggenang di tengah lapangan.

Tya menoleh ke bawah, kali ini dia mendarat di pinggir lapangan yang tanahnya agak meninggi, air hujan tidak menggenang, tapi tetap becek. Syukurlah, setidaknya Tya tidak perlu susah-susah berusaha keluar dari rawa-rawa dadakan itu.

"Wah, untunglah aku cepat menyadari kalau Ira butuh pertolongan. Kalau si Pembawa Badai ini tidak ditolong dan tetap menurunkan hujan tidak sesuai jadwal, bayangkan saja betapa banyak berita di televisi tentang kebanjiran dan longsor."

Tya ikut mengangguk-angguk, Sanatana benar, untunglah Ira sekarang hanya bisa menurunkan hujan di dalam mimpinya sendiri. Kalau Ira masih berkeliaran sambil ingatannya yang menghilang dan sikap zombie-nya itu, sudahlah, pasti banyak orang yang dirugikan karenanya.

Tya melangkahkan kakinya ke sebelah kanan, hari ini dia ingin pergi ke cabang yang belum pernah dimasuki, cabang kelima dan ketujuh. Tya jadi penasaran dengan isi cabang kelima, apakah tempat yang familiar lagi baginya karena Ira tinggal di kota yang sama? Semoga saja iya, jadi Tya tidak perlu kebingungan mencari arah tujuan.

Tya memasuki cabang kelima, dalam lima langkah yang latarnya menyilaukan mata, Tya sampai di sebuah tempat yang ramai. Suara orang-orang bercengkrama, pedagang menawarkan jualannya, Tya kebingungan, kenapa tiba-tiba mimpi Ira menjadi seramai ini?

Jalanan sesak, beberapa kali Tya tersenggol oleh orang-orang. Tya masih berdiri di tempat, karena tidak biasa dengan situasi ramai manusia, Tya menjadi pusing, satu tangannya memegangi kepala, satunya lagi mengawang mencari-cari pegangan. Nihil, daritadi tangan Tya terus disingkirkan oleh orang lain yang menganggap Tya menghalangi jalan. Tya pun berjongkok, tidak kuat.

"Hei, Nak, jangan berjongkok di tengah lautan manusia begitu. Kamu bisa terinjak-injak." Sanatana menjelma sebagai kucing, menarik baju Tya dari belakang dengan moncongnya, mencoba membuat Tya bangun dan pergi dari tengah keramaian.

Sunshine with MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang