Tya sampai di rumahnya setelah berkunjung ke rumah Kala dan Ira. Saat tiba, hari sudah malam dan Tya bahkan sempat berpapasan lagi dengan ayahnya di depan gerbang perkampungan. Untung saja, Tya tidak pergi ke basecamp hari ini karena terlalu capek, jadi tubuhnya tidak bau rokok dan Tya tidak perlu khawatir ketahuan oleh Ayah.
Selepas mandi, Tya turun lagi ke dapur untuk makan malam. Ayah dan Mama sudah terlebih dahulu duduk di meja makan, bercengkrama mengenai hari ini.
"Syukurlah, Nenek sudah semakin membaik, minggu depan jika Nenek dipastikan bisa ditinggal berdua saja dengan pengasuhnya, Mama tidak perlu mampir-mampir kesana lagi setiap hari." Mama bercerita mengenai keadaan Nenek yang sudah semakin tua.
"Syukurlah, Mama sudah bekerja keras terus merawat Ibu selama ini, semoga Ibu lekas sembuh, ya?" Ayah ikut menimpali.
Tya tersenyum, ikut bersyukur keadaan nenek dari ibunya itu semakin membaik.
"Bagaimana dengan Tya? Sudah memutuskan mau kuliah dimana?" Ayah menatap Tya yang sedang mengambil lauk, Tya berhenti sebentar untuk menjawab pertanyaan ayahnya.
"Belum, Tya masih bingung, Yah."
"Ayah harap kamu mau memikirkan beberapa tawaran dari Ayah, Tya."
Tya mengangguk. "Tya juga menimang-nimang tawaran Ayah, kok. Tidak perlu khawatir, Tya pasti akan segera memberitahu Ayah dan Mama jika Tya sudah memutuskan."
Makan malam itu berjalan dengan lancar, Ayah dan Mama masih serasi seperti dulu, tidak pernah berubah. Tya senang melihatnya, meskipun Tya masih merasa ada sedikit yang mengganjal di antara mereka, tapi tak apa.
Tya kembali menuju kamarnya dengan langkah santai, sebenarnya pikiran Tya terus bercampur aduk daritadi. Dia agak lupa kalau harus memikirkan masa depannya karena terlalu sibuk memikirkan Ira. Tya meraih tasnya yang digeletakkan di meja belajar, mengambil salah satu diary milik Ira untuk dibaca. Sudahlah, Tya akan mengurus masalah Ira terlebih dahulu baru memikirkan lagi tentang perkuliahan.
Tya dapat melihat buku diary yang terlihat agak lusuh itu dihiasi dengan coretan-coretan pena, mungkin Ira pernah beberapa kali tidak sengaja mencoretkan penanya di sampul buku ini. Tya sedikit tersenyum, membayangkan dirinya membaca diary orang yang biasanya selalu terasa menjijikkan. Tubuh Tya bergidik, walaupun nantinya harus menahan tawa karena membaca buku diary, setidaknya Tya harus fokus untuk membaca petunjuk-petunjuk yang mungkin ditinggalkan oleh Ira melalui tulisan-tulisan ini.
Tya mulai membuka halaman pertama, tidak seperti yang dia bayangkan–sebuah diary perempuan yang penuh gambar-gambar lucu, justru diary milik Ira terlihat sangat polos dengan hanya ada beberapa paragraf tulisan.
"Turangga, 1 Oktober.
Cek, a, a.
Ah, sial. Rasanya kaku sekali menulis diary untuk pertama kalinya dalam seumur hidup."
Tya sudah tertawa membaca kalimat pertama, rupanya Ira juga merasa jijik saat harus menulis diary begini.
"Jadi, atas permintaan kucing aneh itu, aku menulis diary untuk menjaga ingatanku. Entahlah, padahal aku tidak merasa kalau aku melupakan sesuatu, tapi dia bilang salah satu ingatanku telah terhapus."
Wow, itu mengejutkan. Tya hampir merasa seperti sedang membaca bagian prolog dari sebuah novel.
"Ini adalah hari pertamaku menulis diary, apa ya, yang harus kutulis?
Aku adalah pengendali hujan, setiap kali bangun tidur, aku akan membuat alarm untuk mengingatkanku menurunkan hujan. Dia bilang, sekarang aku adalah anak yang istimewa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sunshine with Me
FantasySELESAI Aditya mempunyai sahabat online yang selalu dia tunggu balasan chatnya. Gadis penyuka fotografi yang bisa memprediksi kapan hujan akan datang. Berkat kemampuannya itu, Aditya jadi tahu kapan harus membawa mantel di sepeda motornya dan kapan...