30

3 1 2
                                    

Hari kedelapan, 8 Mei,

Tya sudah hapal dengan pemandangan di depannya begitu sampai di alam bawah sadar Ira. Lapangan rumput kering dan ilalang tinggi, jam kayu besar di tengahnya yang mau roboh, lalu awan hitam yang selalu menurunkan hujan. Tya ingin sekali mengusir awan hitam itu, tapi Sanatana tidak membolehkannya.

"Hujan selalu menghalangi pandanganku, tidak bisakah aku mengusirnya dulu hari ini?" Tya mendongak, menatap langit berharap Sanatana membolehkannya.

"Itu tidak akan pernah terjadi. Sudah, cepat jalan sana," jawab Sanatana ketus.

Tya menekuk wajahnya, padahal berjalan di atas lapangan yang penuh lumpur ini bahaya, untung saja cedera yang Tya alami tidak pernah sampai di kehidupan nyata. Kalau pantatnya tetap sakit setelah bangun, Tya tidak akan menurut saja dengan Sanatana.

Tya berjalan menuju cabang pertama, dia ingin bertemu dengan si mantel hijau yang paling mudah dulu. Kafe adalah tujuan pertamanya, si mantel hijau itu pasti mudah ditemukan karena tidak ada orang lain selain dia dan si robot biru di dalam cabang itu.

Dalam sekali melangkah, Tya sampai di jalan raya depan kafe, sama sekali tidak ada kendaraan yang berlalu-lalang, tanpa ragu Tya langsung memasuki area parkir. Sampai di depan pintu masuk, Tya menutup kepalanya dengan kupluk hoodie, dia tidak mau rambutnya tersibak AC lagi.

Pintu kaca didorong, angin dingin yang sering mengagetkan Asa itu hanya menyentuh jaket Tya. Tya langsung menerobos masuk ke dapur kafe tanpa memperdulikan si robot biru, melewati meja kasir dengan mudah dan mendorong pintu dapur.

"Selamat datang–"

Tya langsung bertatapan mata dengan bocah bermantel hijau yang sedang duduk sambil memakan cookies di atas meja kayu besar. Bocah itu menunjukkan ekspresi seakan dia baru saja tertangkap basah mencuri makanan. Sementara Tya menatapnya bangga, dalam waktu singkat Tya sudah menemukan si mantel hijau, kepingan memori Ira yang berwujud anak kecil.

Tya masih diam, bingung apakah dia harus secara agresif membawa si mantel hijau, atau mengajaknya berbicara dulu agar tidak takut. Karena mengingat si mantel hijau yang ada di sekolah ketakutan melihat Tya, sepertinya bukan langkah yang tepat untuk mendekati bocah di depannya tanpa basa-basi. Bisa jadi si mantel hijau yang masih menatapnya sambil terus mengunyah cookies itu mengira Tya adalah penculik anak kecil.

Si mantel hijau itu kembali meraih cookies di dalam keranjang biru, tapi matanya tidak pernah lepas dari menatap Tya. Tya juga tidak ingin kalah, kita tidak tahu apa yang akan terjadi saat Tya mengedipkan mata atau mengalihkan perhatian dari si mantel hijau.

Tiba-tiba si mantel hijau itu menyodorkan tiga cookies ke arah Tya. "Mau cookies?" tanyanya.

Tya bergeming, eh, ada apa dengan bocah ini? Selain si mantel hijau yang ada di taman bermain, rupanya si mantel hijau yang ada di kafe juga bisa berinteraksi dengan Tya. Beruntung, jika begini, Tya bisa dengan mudah menghasut–eh maksudnya berdiskusi dengannya.

Tya mengambil cookies dari tangan kecil itu. "Ah, iya, terima kasih."

Si mantel hijau mengangguk, kemudian kembali fokus memakan cookies lain. Tya mengambil salah satu kursi dan duduk di sana, cookiesnya dimasukkan saku jaket, Tya hanya ingin memperhatikan si mantel hijau sebelum mengajaknya ke lapangan utama.

Si mantel hijau itu sadar kalau Tya masih memperhatikannya. Dia balas menatap Tya gugup. "Kamu disini bukan untuk makan cookies?"

Tya menggeleng pelan. "Aku kesini untuk bertemu denganmu."

Si mantel hijau bingung, kunyahannya berhenti sebentar. "Untuk apa?"

"Emm ... untuk mengajakmu kembali?"

Sunshine with MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang