21

3 1 0
                                    

Hari kedua, 2 Mei,

Semangat Tya menggelora, kali ini dia sudah siap di perpustakaan Sanatana dari pukul tujuh pagi, melewatkan apel pagi yang diselenggarakan sekolah dan langsung membelokkan sepeda motor kesayangannya ke perpustakaan. Asa bahkan sempat berkali-kali menanyakan niat Tya, apakah sahabatnya itu benar-benar hanya akan absen saja kemudian kabur dari sekolah? Berkali-kali pula Tya meyakinkan Asa, bahwa dirinya tidak sedang bercanda.

Sulit sekali meyakinkan Asa untuk mempercayainya, tapi Tya tetap bisa kabur dari sekolah tepat sebelum bel untuk apel pagi dibunyikan. Bahkan perjalanannya untuk kabur pun sangat mulus meski Tya harus cepat-cepat mengganti seragamnya ke baju biasa.

Sekarang, setelah memasang alarm untuk membangunkannya nanti, Tya duduk manis di kursi yang kemarin dia tempati, kursi yang menghadap ke jendela. Kali ini cuaca di luar jendela sedang mendung, Tya terheran lagi, padahal saat dia datang tadi cuaca masih sangat cerah di luar, tapi jendela ini selalu memperlihatkan cuaca yang berbeda. Tya menggeleng, semakin dipikirkan, semakin Tya tidak mau memikirkannya.

"Lihatlah, sekarang kamu menjadi anak nakal." Sanatana memecah lamunan Tya, dia datang dengan Ira di belakangnya yang berjalan dituntun oleh karyawan kucing.

Tya menoleh ke kanan, Ira masih bertingkah seperti zombie, dengan matanya yang berwarna hitam. Tya jadi ingat dengan si Hitam yang kemarin dia temui, penampilan Ira dan si Hitam benar-benar sama persis, yang membedakan hanya kulit Ira masih normal seperti manusia pada umumnya, sementara kulit si Hitam benar-benar hitam seperti baru saja luluran dengan arang.

Tya memperhatikan wajah Ira dengan seksama, masih tidak percaya dengan kenyataan bahwa Ira sedekat itu dengannya, tapi Tya malah mencari Ira sampai ke kota sebelah. Sial, Tya jadi menyesali uang ratusan ribu yang terbuang percuma itu.

"Yap, dan kamu tidak menjawabku." Sanatana menghela napas, dia juga merasa agak menyesal menjadi mentor Tya dan Ira yang dua-duanya sering mengabaikannya. Ira tidak bisa menahan dendamnya, sementara Tya tidak mau dikontrol oleh Sanatana. Terkadang Sanatana merasa capek juga merawat mereka bergantian, kemudian sekarang mereka berdua hadir di sini, menambah sakit kepala. "Aku butuh kopiku sekarang," katanya sambil berjalan pergi.

Tya mengalihkan tatapan menuju cuaca mendung yang ada di luar jendela. "Apa itu juga ulahmu?" Tya menatap Ira lagi, kali ini dia bersiap untuk tidur, kepalanya ditidurkan di atas meja, tapi tatapannya masih menuju Ira. "Sebenarnya seberapa besar dendammu sampai harus membuat bencana? Sampai harus mengorbankan ingatanmu yang berharga?"

Tya menutup matanya sambil menghela napas, dia harus membantu Ira mengumpulkan memori-memorinya kalau ingin berbincang lagi dengan Ira. Napas Tya mulai teratur, sudah siap untuk tidur pulas dan pergi ke alam bawah sadar Ira.

Sanatana kembali dengan cangkir kopi di tangan kirinya, dia menaruh telapak tangan kanan di kepala Tya, menyihir Tya agar proses tidurnya berjalan lebih cepat.

"Buka matamu, Nak, kamu sudah sampai." Suara Sanatana kembali terdengar menggema di telinga Tya.

Tya membuka matanya, lapangan berumput yang kemarin tidak jelas pemandangannya itu sekarang terlihat sangat jelas. Awan hitam masih berkumpul di langit, tapi sinar matahari masih bisa menembusnya, di sini sedang siang hari. Tya bisa melihat rumput-rumput yang kuning dan ilalang tinggi, tanah berlumpur mengelilingi seluruh area lapangan, dan jam kayu besar yang ada di tengah, tampak tidak bisa menahan beban hidup dan ingin segera limbung.

"Hei, San, tidak bisakah kamu memperbaiki jam itu dulu? Rasanya tidak mungkin aku bisa menaruh kepingan memori Ira di dalam jam yang mau roboh itu." Tya agak berteriak, berusaha membuat Sanatana yang tidak ada wujudnya itu mendengar Tya.

Sunshine with MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang