Epilog

41 1 3
                                    

26 Mei,

"Barang-barangmu sudah tidak ada yang ketinggalan, 'kan?"

Elio menghela napas, capek dengan pertanyaan dari kakaknya. "Mau berapa kali kamu menanyakan itu kepadaku?"

"Sampai kamu benar-benar yakin tidak ada yang ketinggalan. Kamu tahu kalau biaya mengirim barang ke tempatmu itu mahal 'kan?" Ira berkacak pinggang, meski bukan dirinya yang berangkat, tapi otaknya ikut berputar juga memikirkan barang apa yang bisa saja tertinggal di rumah karena Elio adalah orang yang cukup malas bebersih.

"Daripada mengirimnya, lebih murah lagi kalau aku membeli yang baru di sana. Sudahlah, Ira, kamu fokus saja dengan kehidupanmu disini. Aku bisa menjaga diriku sendiri."

Ira menggigit bibirnya, masih tidak bisa percaya dengan omongan adiknya.

Elio kembali menghela napas frustasi. "Hei, kuharap kamu tahan dengan kelakuan kakakku yang selalu menanyakan hal yang sama puluhan kali ini."

Tya tertawa. "Kuharap aku tidak menyerah."

Ira mengernyit, dua orang laki-laki yang lebih muda darinya ini dulu seperti orang bermusuhan, tapi sekarang mereka akrab sekali. Bahkan sudah kompak menjahili Ira.

"Baiklah, sudah waktunya untuk berpisah lagi. Sampai jumpa, Ira, Tya, tolong sampaikan pada Ibu juga aku akan sering-sering menelponnya." Elio memeluk kedua orang seumurannya yang telah mengantar sampai bandara itu.

"Tumben sekali?" tanya Ira setelah pelukan mereka lepas. Sebelumnya Elio jarang sekali mengabari orang rumah, bahkan harus ditelpon dulu oleh Ibu, sekarang dia yang ingin menelepon Ibu lebih sering.

"Kamu 'kan sibuk ...." Elio mengarahkan dagunya ke Tya. "Dengan orang ini."

Tanpa pikir panjang Ira langsung memukul lengan Elio, membuat adiknya itu mengaduh kesakitan. "Jangan pulang sebelum studimu selesai, atau aku akan membeberkan foto masa lalumu pada gadis itu."

"Eh, kok kamu jahat begitu, sih?"

"Lho, siapa yang mulai?"

"Aduh, sudahlah, kalian ini tidak ada habisnya bertengkar. Cepat masuk, Elio, tiket pesawat itu mahal kalau kamu ketinggalan disini." Tya melerai, membuat Elio benar-benar berpamitan dan segera pergi ke dalam bandara.

Selepas kepergian Elio, sekarang Ira dan Tya hanya berdua saja di depan bandara. Mereka saling menatap. "Mau langsung pergi?" tanya Tya.

Ira mengangguk. "Ayo, Asa pasti sudah mencuri start dulu karena kita harus mengantar Elio."

Tya tersenyum. "Ya, anak itu ajaib sekali, dia tiba-tiba jadi lebih rajin daripada diriku."

Ira balas tersenyum. "Maka kamu harus bekerja lebih keras lagi, sainganmu sekarang bertambah. Aku juga akan mengalahkanmu di kesempatan keduaku ini."

Tya terbahak, Ira memang selalu bisa membuatnya tertawa.

.

.

Bel kecil di daun pintu perpustakaan berbunyi ketika Ira membuka pintu, semua orang di sekitar pintu masuk menoleh sebentar untuk mengetahui siapa yang baru saja masuk, beberapa detik kemudian perhatian mereka kembali ke kesibukan masing-masing.

Resepsionis terlihat ramai oleh para tamu yang sedang mengurus sesuatu, para pegawai di lantai atas juga sibuk membantu tamu-tamu yang mencari buku-buku tertentu. Ira dan Tya langsung melangkah menuju meja berisi tiga kursi di bagian dalam perpustakaan, disana sudah ada Asa yang sedang menulis sesuatu dengan fokus penuh.

"Sudah kuduga, Asa pasti sangat bersemangat." Ira duduk di salah satu kursi, menaruh tasnya di lantai setelah mengeluarkan buku-buku yang akan dipelajarinya.

Asa menoleh sebentar. "Kalian lama sekali, aku tidak tahan menunggu, jadi aku mulai lebih dulu."

Tya juga duduk di kursi terakhir yang kosong. "Semangat bagi yang dapat hari pertama gelombang satu."

Asa berdecih. "Iya deh, yang dapat gelombang kedua!"

Tya dan Ira sontak tertawa, mengasihani Asa yang beberapa hari lalu diberikan anugerah untuk menjadi salah satu peserta pertama yang melaksanakan ujian masuk ke perguruan tinggi tahun ini. "Kita semua harus semangat, masa hanya Kala dari kita berempat yang pergi kuliah? Rasanya curang."

"Ah, sial, kenapa pula aku bersaudara dengan kutu buku seperti Kala, sih?!" protes Asa.

"Itu artinya semesta ingin kamu menderita." Ira mengejek lagi.

Begitulah mereka bertiga, belajar bersama meski sambil saling mengejek, saling menyemangati pula. Aneh, tapi setidaknya mereka sama-sama berjuang untuk mendapatkan yang mereka inginkan, yaitu dunia mahasiswa.

Sanatana di balik salah satu rak buku mengintip ketiga pemuda-pemudi yang sedang belajar bersama itu. Dia memperbaiki posisi kacamatanya.

"Semesta ingin mempertemukan mereka, walau caranya adalah lewat bencana."

—————

End, April 2023

End, April 2023

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

🤩 :

Akhirnya perjuangan selama satu tahun menggarap karya ini terbayarkan dengan judul bab "epilog". Cita-cita yang beberapa bulan lalu rasanya masih sulit untuk dicapai, mengingat semester lalu yang penuh tantangan.

Terima kasih kepada seluruh pembaca yang masih setia menunggu update terbaru dari saya yang suka menghilang ini, kalian sungguh bermental luar biasa. Terima kasih juga untuk Pak RT Kampung Asri IMPNEM beserta jajaran yang telah mengadakan event NaNoWriMo sehingga karya ini dapat benar-benar dipublikasikan.

Karya ini dipersembahkan lagi untukmu, happy ending pertama yang akan membuka cerita baru lainnya.

Terakhir, saya sangatttt terbuka untuk kritik dan saran tentang karya ini. Meskipun setahun itu waktu yang lama untuk mengerjakannya, tapi tidak ada yang sempurna di dunia ini, 'kan? Jadi, jika Anda, siapapun itu, menemukan plot hole, typo, atau sesuatu yang janggal selama alur berlangsung, jangan segan untuk mengirim kritik dan saran. 🙏🏻

Sampai jumpa di karya berikutnya!

Sunshine with MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang