"Sssstt, jangan nakal, tadi katanya mau bantu."
"Enggak, Lea nggak nakal." Alea membalas ucapan Devan dengan suara yang bergetar. Jika tadi sore Devan lah yang tampak kacau, maka malam ini keadaan berbalik pada Lea. Mata gadis itu memerah, tubuhnya tanpa bisa dicegah bergetar ketakutan.
Devan saat ini memang sudah jauh lebih tenang, tapi tenangnya Devan justru membuat Alea meremang. Seolah menyaksikan langsung film gore dimana sang Psikopat tengah menikmati waktu bermain sebelum menusuk korbannya. Bedanya, Devan tak akan menusuk tubuhnya, melainkan jiwanya.
"Nggak nakal tapi berani kabur, hm?" Devan menyentuh pipi sang Adik, jarinya bergerak-gerak membuat pola abstrak yang sukses membuat dada Alea kembang kempis tak menentu.
"Lea cuman mau ketemu nenek," ucap Lea dengan nada tercekat.
Tadi, dengan mengerahkan segala usaha, ia berhasil kabur dari kukungan Devan. Hanya bermodal nekat, ia membawa lari mobil milik Devan, berkendara dengan skill yang tak seberapa ke kediaman sang Nenek. Namun naas, sayang sekali ia lupa jika nenek dan opanya telah berangkat ke Aussie dua hari yang lalu. Kediaman besar itu kosong melompong.
Adrenalin Lea meningkat pesat, bayangkan saja seorang Alea yang biasa bermanja tiba-tiba terjebak di situasi seperti ini. Rasanya ia tengah dikejar-kejar seorang pembunuh bayaran dan selama masa percobaan pelariannya tak ada satupun orang yang dapat ia temui. Seolah hanya ia dan pembunuh itu yang ada di dunia ini.
Belum sempat otak kecilnya itu memerintahkan untuk berbuat apa, tiba-tiba Devan datang dengan motornya dan menyeret Alea kembali ke tempat yang sudah sangat lama tak ia kunjungi. Alea tau tempat ini, Devan membawanya ke apartemen kecil milik Liam. Sangat mimpi buruk bagi Lea, jika Devan nekat menyekapnya di sini, kecil kemungkinan kakak-kakaknya yang lain akan mencarinya ke sini.
Dan bodohnya ia saat baru teringat bahwa ia bisa menelpon salah satu keluarganya, sekarang hangus sudah kesempatan itu, ponselnya telah diambil alih oleh Devan.
"Dia nggak pernah peduli sama kita, sayang." Devan berbisik lirih tepat di daun telinga Lea.
"Mereka peduli," bantah Lea memberanikan diri. "Bang, kita punya keluarga, mereka bisa bantuin kita, jangan kayak gini."
"Sssttt...." Tangan Devan yang tadinya bergerilya di pipi, sekarang berpindah mengusap bibir adiknya itu. "Mereka nggak peduli, nggak bakal peduli. Mereka nggak bakal bantu, yang ada malah buat tambah runyam. Lea nurut sama Abang, oke?"
Alea menunduk, tak berani menjawab sama sekali.
"Harus nurut!" Devan mencengkram keras pipi Alea, dipaksanya kepala sang Adik untuk mengangguk.
Ia yang memaksa, ia pula yang terkekeh senang melihat kepala Lea mengangguk.
"Bagus." Devan menepuk-nepuk kepala Alea. "Abang cariin makan buat Lea keluar, Lea tunggu di sini aja."
Devan menyudahi interaksinya dengan Alea, ia pergi keluar seraya bersenandung senang. Tentu Devan tak lupa mengunci akses keluar, mencegah agar kelinci kecilnya tak kabur lagi.
Sepeninggal Devan, tubuh Alea langsung luruh ke lantai. Ia mengabaikan denyutan nyeri di area pipinya, dadanya terasa jauh lebih nyeri. Mungkin sangat-sangat membuang waktu jika ia lagi-lagi berharap agar suatu keajaiban datang menolongnya.
°°°
Angkasa sedari tadi bergerak gelisah di atas tempat tidurnya. Sesekali ia berjalan keluar kamar dan mengintip ke ruang tengah, tempat dimana Papi kandung dan Papi angkatnya tengah berbincang. Angkasa tak dapat mengetahui apa yang mereka perbincangkan, tapi sudah dapat dipastikan jika mereka tengah terlibat pembicaraan serius.
KAMU SEDANG MEMBACA
Living with Brothers [TAMAT]✓
Jugendliteratur"Loh, ntar-ntar, mama nitipin gue ke abang-abang biar gue bisa dididik sama mereka? Kelakuan mereka kan lebih laknat dari gue." ..... Dituntut agar bisa ini itu saja sudah cukup membuat Alea kesal. Sekarang mamanya berulah lagi dengan menitipkan Ale...