"Trus, kalau yang tadi itu rumah lo, kenapa harus ngendap-ngendap dong?" Alea mengernyitkan keningnya heran, kalau dipikir-pikir lagi, ini bukan sepenuhnya salah Alea. Siapa yang tidak akan salah paham jika melihat orang sedang mengendap-endap di tengah malam begini?
"Hehehe..." Bukannya menjawab, Angkasa malah cengengesan dengan wajah konyolnya, Alea seketika beringsut mundur, takut-takut lawan bicaranya ini tengah dirasuki setan.
"Lo nggak lagi kerasukan kan?" tanya Aleta ragu-ragu.
"Ya enggaklah, yakali orang seganteng gue kerasukan," delik Angkasa.
"Dih." Alea mengernyit jijik, ia pikir orang dengan tampang seperti Angkasa ini akan memiliki sifat yang dingin, ternyata sama saja dengan kakak-kakaknya, konyol. "Btw, lo belum jawab pertanyaan gue."
"Owh, itu mah, sekarang kan dah malem banget, bisa-bisa gue diamuk kakak gue kalau ketahuan pulang jam segini," jawab Angkasa yang hanya diangguki oleh Alea. "Eh, tau-taunya ada anak monyet yang gangguin gue."
"Lo ngatain gue anak monyet?!" Raut wajah Alea mengkeruh seketika.
"Lah, bukan gue yang ngomong ya, lo aja yang ngerasa," cengir Angkasa.
"Ish, gue nggak bodoh-bodoh juga kali, kan yang ganggu lo tadi gue, tapi lo bilangnya anak monyet," sungut Alea.
"Lah kan gue nggak bilang diganggunya kapan, bisa jadi pas di jalan tadi gue beneran diganggu anak monyet, kok lo ge-er sih?" kelit Angkasa.
"Bodo amat." Alea cemberut, ingatkan Alea untuk tidak terlalu sering berurusan dengan pria di sampingnya ini, bisa-bisa Alea akan menua dini jika terus meladeninya.
"Nama lo...."
"Diam!"
Angkasa mengatupkan kembali bibirnya, tak jadi bersuara. Perempuan di depannya ini ternyata sangat menyeramkan saat marah, tapi tetap saja lebih seraman kakaknya.
Setengah jam berlalu dalam keheningan, Alea saat ini tengah bersiap-siap untuk pulang, hujan sudah mereda, hanya menyisakan gerimis kecil.
Alea melirik sekilas ke arah Angkasa yang saat ini tengah tertidur dalam posisi berjongkok dengan pohon sebagai sandarannya.
Tak lama Alea menatap Angkasa, ia langsung melenggang pergi begitu saja tanpa ada inisiatif sedikit pun untuk membangunkan Angkasa.
'Nanti juga bangun, pulang sendiri,' pikirnya.
Alea mulai berjalan menyusuri jalan setapak seraya mengingat-ingat rute yang ia tempuh tadi. Beruntunglah Alea memiliki daya ingat yang lumayan bagus, jika tidak, tersesatlah ia.
"Woi! Cewek! Wuui!!"
Sayup-sayup Alea mendengar suara teriakan dari arah belakang, bulu kuduknya meremang seketika, jangan lupakan fakta jika Alea itu sangat penakut.
Dengan perasaan yang sudah tak karuan lagi, Alea mempercepat langkahnya, ia sungguh tak ada keberanian sedikitpun untuk menoleh kebelakang.
"Wuui! Tunggu!"
Alea kian menambah kecepatannya, tubuhnya saat ini sudah berkeringat dingin.
"Heei!"
"Ugh, mati gue." Alea mulai terisak, ia bahkan tak berani membuka mata saking takutnya.
Pundaknya dipegang oleh seseorang!
"Lah loh?" Orang yang sedari tadi memanggil-manggil Alea kebingungan sendiri, kenapa perempuan ini malah menangis? Salahnya apa? Aneh.
"Ini guee."
Merasa suara yang ia dengar tak terasa asing, Alea memberanikan diri membuka mata. "Ish, Angkasaa!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Living with Brothers [TAMAT]✓
Ficção Adolescente"Loh, ntar-ntar, mama nitipin gue ke abang-abang biar gue bisa dididik sama mereka? Kelakuan mereka kan lebih laknat dari gue." ..... Dituntut agar bisa ini itu saja sudah cukup membuat Alea kesal. Sekarang mamanya berulah lagi dengan menitipkan Ale...