Alea keluar dari mobil dengan hidung yang amat merah. Flue-nya belum sepenuhnya sembuh, tapi sekarang hidungnya malah tambah tersendat karena menangis sejam penuh di dalam mobil.
Coretan burik di wajah indah Alea masih terlihat secara samar. Alea kesal, Alea merajuk, tapi ia tak bisa marah karena wajah memelas dari keempat kakaknya sangat sulit untuk diabaikan. Ah, resiko punya abang ganteng, meski Alea sering melihat mereka seperti kawanan monyet, tetap saja terkadang kharisma mereka keluar meluluhkan hati Alea.
Alea duduk dengan kaki menyilang di kursi teras. Dirinya masih enggan untuk masuk ke dalam rumah. Di dalam hati ia mendumel kesal, awas saja jika tak ada salah satu dari kakaknya yang berinisiatif untuk membujuknya agar mau masuk ke dalam rumah. Bisa dipastikan Alea akan mengadu kepada Nayra malam nanti.
"Lea mau nelfon Mama aahh!" Alea berseru keras sebagai peringatan pertama. Namun naas, tak ada satupun orang yang menunjukkan eksistensinya dari balik pintu.
Hati Lea tambah dongkol, tangannya mengetuk-ngetuk layar handphone dengan kesal. Mengadu pada Nayra pagi ini adalah pilihan buruk, bisa-bisa ia disuruh balik ke rumah neneknya dan menjadi sasaran empuk nyinyiran sang Nenek.
Lea menopang dagunya dengan tangan. Netranya kini menatap pada bangunan di sebelah rumah yang tampak sepi. Jika dipikir-pikir, kemaren saat ia akan berangkat pun kediaman Angkasa tampak sepi. Biasanya pagi-pagi begini Angkasa sudah membabu di halaman rumahnya, entah itu sedang menjemur baju, menyiram tanaman atau memotong rumput. Lantas kemana perginya Angkasa?
"Dek, kok nggak masuk?"
Alea sontak menoleh pada asal suara, bibirnya refleks melengkung ke bawah kala melihat orang yang selama ini begitu perhatian padanya tengah berdiri di ambang pintu.
"Kak Liaam, mereka jahaat, masa mereka nyoret-nyoret wajah Lea pas Lea tiduur." Lea merengek sejadi-jadinya di pelukan Liam. Liam yang sudah paham bagaimana interaksi kakak beradik itu berjalan hanya bisa menghirup napas sabar. Pada dasarnya, mereka yang biasanya stay cool seperti kingkong akan otomatis menciut menjadi kera sakti setiap kali bertemu, jadi jangan heran lagi.
"Trus sekarang Lea marah sama mereka?" tanya Liam lembut.
"Hngg, nggak juga sih, cuman kesel aja," ujar Lea dengan bibir cemberut.
"Jangan sampai marah, ntar duit jajannya nggak ngalir, mau?" tanya Liam yang langsung membuat Lea menggeleng horor. Di saat tanggal tua melanda, hanya dompet keempat kakaknya lah yang bisa membantu kemiskinannya. Yaah, meskipun Lea harus mengeluarkan skill copetnya terlebih dahulu.
"Nah, good girl." Liam mengacak rambut Lea pelan. "Sekarang masuk dulu gih, Kakak mau mantau cafe bentar, titip Arthan ya."
"Okey!" Alea menegakkan tubuhnya dengan semangat 45. Tak lupa ia memberi hormat pada Liam yang pergi menggunakan mobil Devan.
"Haha, mampus tu Kak Liam kejebak macet." Alea terkekeh jahat sembari berbalik untuk memasuki rumah. Namun, baru juga di ambang pintu, langkahnya terhenti seketika karena mengingat sesuatu. "Tunggu tunggu, tadi Kak Liam bilang apa? J-jagain Arthan?" Buru-buru ia mengambil langkah seribu menuju ruang tengah.
Mata Alea tiba-tiba berkedut saat melihat benda kecil berlendir tengah berceloteh riang di atas meja.
Demi apapun, Alea benar-benar benci anak kecil.
°°°°°°
"Huaaa.... miii, miiii!"
"Hiks, dia minta apaan?" Alea mengacak rambutnya frustasi. Baru juga 30 menit ditinggal pergi Liam, bayi kecil yang baru tumbuh gigi itu sudah menangis dengan sangat nyaring. Kehadiran Vino, Alaska, Alvaska bahkan Devan sekalipun tak membantu sama sekali, mereka sama pusingnya dengan Alea.
![](https://img.wattpad.com/cover/280849731-288-k737992.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Living with Brothers [TAMAT]✓
Ficção Adolescente"Loh, ntar-ntar, mama nitipin gue ke abang-abang biar gue bisa dididik sama mereka? Kelakuan mereka kan lebih laknat dari gue." ..... Dituntut agar bisa ini itu saja sudah cukup membuat Alea kesal. Sekarang mamanya berulah lagi dengan menitipkan Ale...