Jangan kaget ya baca ini, bisa dibilang chapter ini sebagai sisi paitnya abang-abang Lea. Mereka kan selama ini ada manis-manisnya dikit karena scene mereka nggak jauh-jauh dari keberadaan Alea, yakali di deket Lea mereka ada sepet-sepetnya.
Di deskripsi cerita pun udah diperlihatkan kalau karakter mereka tu berandalan. Jadi yaa, begitu
Happy reading~
°°°
"Udah nggak taulah berapa kali gue coba jelasin ke dia kalau gue difitnah, tapi dia terlanjur kecewa, dia nangis cok! Males gue mau pertahanin dia kalau kayak gini ceritanya."
"Hmm, bener-bener. Mending lo cari cewek baru aja."
"Nah, bener kata Bang Devan, nggak cocok lo pacaran sama anak baik-baik, udah paling mending lo sama cewek yang bahenol waktu itu, nggak menye-menye."
"Haah, anj*rr, pusing, pen nyebat, bagi satu lah."
Vino menyulut sebatang rokok. Tengah malam ini memang paling asik bercerita dengan para saudara laki-lakinya, selain pemberi nasehat yang handal, pemikiran mereka juga sejalan.
Pintu kamar terbuka, memperlihatkan Alvaska yang membawa 4 cup kopi untuk mereka.
Vino merebut satu cup kopi tersebut dan langsung menyeruputnya. "Ahh, thanks bro."
"Mama tadi pulang nggak?" tanya Devan seraya menjulurkan tangan mengambil kopi.
Alvaska mengedik. "Nggak ada tuh mobilnya di depan, kayaknya nggak pulang lagi."
"Alamat mati gue kayak gini mah, duit gue dah nipis. Mana Bang Devan nggak mau ngasih duit, anj lo Bang," gerutu Alaska.
"Yee si B*bi." Devan menggeplak kepala Alaska. "Disuruh bantuin gue di kantor nggak mau, giliran nggak punya duit misuh-misuh lo."
"Ya lo mikir lah b*go." Alaska balik menempeleng kepala kakaknya. "Jurusan multimedia lo suruh ngurus keuangan, mana perusahaan tekstil lagi. Kalau si Vino ngajak kerja di tempat kerjanya masih oke. Lah elo?"
"Sssst, berisik kalian!" Vino menimpuk Devan dan Alaska satu-satu dengan guling. "Dev, gue belum selesai cerita, malah lo ngeladenin ni bocil," sungutnya tak terima.
Devan menatap Vino dengan malas. "Ooh, jadi ceritanya ni Dedek mau curhat?"
"Uuuu~ mau curhaaat...." sahut Alvaska dan Alaska serentak, mereka lalu sama-sama terkikik, menatap Vino dengan pandangan mengejek.
"Gue serius anj*ng!"
Kembali bantal guling bau iler milik Vino melayang, kali ini Alvaska juga ikut-ikutan terkena dampak.
"Iya iya, lanjutin cerita lo," ujar Devan sembari memakan kinderj*y.
Sebenarnya makanan full coklat itu ia beli dari jauh hari untuk jaga-jaga jika Alea rewel karena sang Mama yang jarang pulang. Namun, sepertinya adik bungsunya itu sudah sedikit dewasa, setiap jam 8 malam ia sudah masuk masuk ke dalam kamar dan melarang siapapun masuk karena ia ingin fokus belajar. Ia baru akan keluar keesokan harinya, tak ada lagi drama Alea yang merengek malam-malam.
"Gue bingung mau ngejelasin yang sebenarnya atau nggak ke dia."
"Aelaah baang, kayak anak perawan baru jatuh cinta aja lo, cewek kayak gitu ngapain lo urusin. Minimal waktu itu dia dengerin penjelasan lo dulu lah, lah ini langsung minta putus, lo relain aja udah. Lagian apa istimewanya tu cewek, dada rata gitu, lo mau megang apaan? Megang iman?" komentar pedas Alaska yang mengundang decakan kagum dari Alvaska, mulut comber kembarannya itu memang sangat khas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Living with Brothers [TAMAT]✓
Підліткова література"Loh, ntar-ntar, mama nitipin gue ke abang-abang biar gue bisa dididik sama mereka? Kelakuan mereka kan lebih laknat dari gue." ..... Dituntut agar bisa ini itu saja sudah cukup membuat Alea kesal. Sekarang mamanya berulah lagi dengan menitipkan Ale...