°°°
Sebulan berlalu dengan cepat, tak terasa, Alea yang tadinya pagi siang malam terus direcoki dengan soal akhirnya menyelesaikan ujian kelulusan juga. Devan yang tadinya hanya bisa terbaring bosan di rumah sakit pun hari ini sudah diperbolehkan pulang. Sebenarnya Devan sudah diperbolehkan pulang 2 minggu yang lalu, tapi karena media belum sepenuhnya terbungkam, jadilah Nayra mencari-cari alasan agar anak sulungnya itu mau dirawat lebih lama lagi.
Terlepas dari kestresannya menghadapi ujian, sebulan ini benar-benar dilalui Alea dengan hati berseri-seri. Keluarganya yang kembali akur, Devan yang tampak sudah kembali ceria, kembarannya yang meskipun terkadang masih sering saling sindir-sindiran tapi sudah lebih sedikit tentram.
Lebih-lebih hubungannya dengan keluarga Angkasa kian dekat, meski Papi Gul sudah jarang bertandang ke rumah sakit karena pekerjaannya yang lumayan padat, tetap saja hubungan mereka makin erat, mengingat Alea sering menginap di rumah Angkasa karena tak diperbolehkan tidur di rumah sakit oleh Mamanya. Ia sedikit malas jika hanya seatap dengan kembarannya.
Hah, rasanya Alea ingin menunda rencananya untuk langsung berkuliah di luar Jakarta usai lulus nanti. Ia ingin menikmati masa-masa indah bersama keluarganya dulu.
"Udah makan?" Angkasa bertanya seraya mengusap lembut rambut Lea. Kebiasaan yang sudah sangat dihafal Lea.
Alea merasa belakangan ini Angkasa begitu perhatian padanya, awalnya ia mengira Angkasa hanya ingin memanas-manasi Alvaska. Namun, sepenglihatan Lea, reaksi Alvaska justru terkesan biasa saja, terlihat tak tertarik sama sekali dengan hubungan mereka. Lagipula Angkasa juga tak pernah membahas rencana nyeleneh mereka itu lagi. Kedekatan mereka seolah tak tersetting, semua mengalir begitu saja.
"Udah," jawab Lea sekenanya. Ia saat ini tengah membantu Devan menyeka tubuh, kakaknya itu tengah didera pusing. Kecelakaan waktu itu sebenarnya tak terlalu parah, hanya saja efek sakit kepalanya memang berkepanjangan.
"Weh Lea, kolor Abang lo kok hitam semua, nggak ada yang ijo apa?"
"Ishh, Varel jangan jorok! Tarok lagi nggak?!" Alea melotot seram, kerasukan apa sepupunya itu hingga dengan entengnya menenteng celana dalam Devan? Mana pakai acara pamer-pamer lagi.Varel bersungut tak terima. "Ini niat gue baik loh, bantuin ngemas barang Bang Devan. Kok lo melototin kayak gitu sih?"
"Ck, Varel, bawa ke sini!" Devan mendelik, ingin merebut benda pribadinya tapi ia sedang tak bertenaga. Ingin sekali ia menjitak kepala Varel. Sudah panas melihat gelora cinta dari dua remaja di sampingnya, sekarang ia malah harus menyaksikan celana dalamnya ditenteng-tenteng, memang patut kepalanya tambah pusing.
"Hiks, sad, niat bantuin malah dibentak." Varel berdrama dengan wajah sedih yang dibuat-buat, dilemparkannya celana dalam itu hingga dengan tak etis mendarat tepat di wajah Devan.
Untunglah Vino datang, setidaknya emosi Devan yang sudah hampir mencapai ubun-ubun sedikit bisa teralihkan.
"Bang, coba tebak gue abis telponan sama siapa?" tanya Vino dengan wajah misterius ala-ala.
Devan menatap Vino tak minat. "Gebetan baru lagi?" tanyanya seolah sudah sangat terbiasa dengan pertanyaan itu.
Vino nyengir kuda. "Kalau direstuin sih nggak papa, tapi ini ceweknya umur 26, buat lo aja deh."
"Siapa tuh, Bang?" Tertarik dengan pembicaraan Vino, Alvaska tiba-tiba saja menyembul, sedikit mengintip layar hp Vino yang tadinya ingin diperlihatkan pada Devan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Living with Brothers [TAMAT]✓
Roman pour Adolescents"Loh, ntar-ntar, mama nitipin gue ke abang-abang biar gue bisa dididik sama mereka? Kelakuan mereka kan lebih laknat dari gue." ..... Dituntut agar bisa ini itu saja sudah cukup membuat Alea kesal. Sekarang mamanya berulah lagi dengan menitipkan Ale...