|CRAZY OVER THEM|

5.8K 704 49
                                    

°°°

"Maa, plis, tenang. Jangan kayak giniii...."

Suasana di kediaman Devan tampak begitu kacau. Kesadaran mereka belum sepenuhnya kembali usai keterkejutan yang luar biasa, tapi tiba-tiba saja jantung mereka dipaksa bekerja dengan cepat karena Nayra yang tiba-tiba pingsan. Devan yang tadinya sudah akan membogem mentah pria masa lalu mamanya itu justru melupakan niatnya begitu saja dan membopong sang Mama ke dalam kamar.

Ada perasaan takut yang luar biasa pada diri Devan, kilasan ingatan masa kecilnya dulu dengan lancang berseliweran di benaknya, tangannya gemetar tak tertahan.

Semuanya kalang kabut, lebih-lebih ketika Nayra sadar dan justru meracau tak karuan. Mereka benar-benar sangat kebingungan, terlagi Alvaska dan Alaska, tak pernah sekalipun mereka melihat sisi rapuh Nayra.

"Ssshhh... tenaang. Ada kita di sini." Vino merengkuh tubuh ringkih Nayra, tak henti-hentinya ia mengutarakan kalimat penenang. Mungkin tampaknya ia sedang berusaha menenangkan Nayra seorang, tapi yang sebenarnya terjadi, ia juga sedang berusaha menguatkan Devan yang juga ikut rapuh. Pria itu tengah menompang tubuhnya di sandaran kursi dengan wajah yang mulai memucat. Tangannya mencengkram rambut begitu kuat.

Alvaska bergerak membaluri minyak kayu putih pada kening Nayra. Pun dengan Alaska yang memijit kecil kepala Devan.

Angkasa, satu-satunya orang yang ekstensinya terabaikan di sana menatap kekacauan itu dengan wajah datar. Entah untuk apa ia berdiri di ambang pintu kamar ini.

Angkasa berbalik badan dan melangkah menjauh. Tak ada yang sadar jika Alea tak ada di sana. Gadis itu melarikan diri entah kemana ketika semuanya kalang kabut mengurusi Nayra.

Angkasa sampai di ruang tengah rumahnya, netranya melirik malas pada sosok pria lumayan berumur di sudut sana.

"Nyesel boleh, tapi awas aja kalau sampai balikan," ancamnya tanpa repot-repot bertatap muka dengan lawan bicara terlebih dahulu.

Kembali Angkasa melangkah menuju dapur. Awalnya ia hanya ingin mengambil air minum, tapi entah mengapa, saat ia menatap rumah pohon dari balik jendela dapur, feeling-nya tiba-tiba mengatakan jika Alea berada di sana.

Angkasa keluar, lalu menaiki jenjang kayu yang merupakan akses satu-satunya menuju rumah pohon yang sering ia jadikan tempat berbincang dengan Lea.

Dan benar apa dugaannya, Alea berada di sana, meringkuk dengan kepala yang ditenggelamkan di kedua paha. Dari bahunya yang bergetar, Angkasa tau jika gadis itu tengah terisak. Rasanya ia kembali pada ingatan saat awal ia begitu akrab dengan Lea, saat itu Alea juga menangis di sini.

Angkasa mendudukkan diri tepat di sebelah Alea, ia menatap gadis di sebelahnya dengan tatapan terkesan santai.

"Yahh, ternyata kita sodaraan," ucapnya kelewat santai.

Alea refleks mendongak, mata yang sudah memerah itu menatap Angkasa penuh tuntut. Matanya kian memicing saat Angkasa justru terkekeh ringan, tangannya bahkan dengan lancang mengusap lembut surai Alea.

"Lo udah tau?" tanya lirih Lea seraya menyentak pelan tangan Angkasa.

"Lo marah?" Bukannya menjawab, Angkasa justru bertanya balik. Setelah sekian lama, ia akhirnya kembali mengeluarkan ekspresi andalannya, tengil.

Alea mengusap kedua kelopak matanya, ia menunduk menatap hamparan bunga di bawah sana. "Gue nggak tau, gue bingung. Gue seharusnya marah, tapi nggak tau kenapa hati gue nggak mau. Gue seharusnya langsung mukul tu cowok brengsek, tapi tapi, gue nggak bisa, kenapa gue baru tau hal sepenting ini sekarang? Kenapa nggak dari dulu-dulu? Bisa-bisanya gue akrab sama orang yang nyakitin mama. Bahkan gue juga akrab sama anak-anaknya."

Living with Brothers  [TAMAT]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang