BAB 6 | Maaf

932 79 15
                                    

"Apakah hidup itu hanya sebatas awal dan akhir dalam sebuah cerita?"

***

Pagi ini hari terlihat sangat cerah, matahari bersinar dengan sempurna dan memberi semangat bagi mereka yang sedang rapuh.

Namun beda cerita dengan gadis yang masih belum juga keluar dari kamarnya, padahal waktu sudah menunjukkan pukul tujuh pagi.

Bik Iyas yang khawatir terjadi apa-apa dengan Nindy akhirnya mengetuk pintu kamarnya perlahan "Mbak Anin, belum bangun ya? Hari ini nggak sekolah?"

Namun sama sekali tak ada sahutan dari dalam kamar itu. Dengan penuh keberanian Bik Iyas membuka dan melihat kondisi Nindy di dalam kamar.

Bik Iyas melihat Nindy masih tertidur pulas dengan selimut yang menutup sempurna tubuhnya. Bik Iyas mendekati gadis itu dan berusaha membangunkan Nindy perlahan.

"Mbak bangun!" ucapnya.

Bik Iyas memegang tangan Nindy, lalu berpindah ke keningnya dan berpindah lagi ke lehernya.

"Ya Allah Mbak Anin demam ya, ini kok panas banget. Duh gusti gimana ini ya?" Bik Iyas mulai menunjukkan rasa panik.

Mendengar itu, Nindy sedikit terbangun dan membuka matanya perlahan.

"Nindy nggak apa-apa kok Bik, cuma butuh istirahat aja." ucapnya dengan lemah.

Wajahnya kini mulai memerah karena demam, bibirnya terlihat pucat dan matanya sangat bengkak akibat menangis semalaman.

"Yaudah Mbak Anin tunggu sebentar ya, bibik buatin minuman hangat." Bik Iyas kembali menyelimuti Nindy dengan lembut lalu kembali ke dapur untuk mengambilkan minuman hangat.

Dari sejak Nindy kecil, Bik Iyas sudah ikut keluarga ini. Jadi wajar saja jika Nindy sudah di anggap anaknya sendiri, apalagi setelah Dirga tidak ada membuat Bik Iyas seperti tidak tega kalau meninggalkan Nindy sendirian.

"Ini mbak coklat panasnya, ayo diminum dulu. Bibik udah telfon papa nya mbak, tadi katanya beliau akan kesini nanti." Bik Iyas membantu Nindy untuk duduk dan bersandar di bantal tempat tidur dan meminum coklat panas tersebut.

Teguk demi teguk sudah diminum Nindy.

"Harusnya Bibik nggak usah telfon papa, Nindy baik-baik aja kok." ucapnya.

"Mbak, bagaimanapun beliau adalah papanya Mbak Anin dan beliau juga khawatir kalau Mbak sakit begini." jawab Bik Iyas mengusap rambut Nindy dengan penuh perhatian.

"Yasudah kalau begitu Bibik buatin sup ayam buat Mbak Anin ya!" sambung Bik Iyas.

Nindy hanya mengangguk pelan mengiyakan pertanyaan Bik Iyas.

Sementara itu, Nindy mulai kembali teringat dengan hal yang baru saja ia ketahui semalam.

Pesan chat yang ia kirim kepada Nathan sampai pagi ini masih belum juga dibalas. Padahal pesan tersebut sudah terbaca olehnya. Nindy kembali meletakkan ponselnya di atas laci. Ia mengambil sebuah foto yang berada tepat di sebelah ponselnya. Foto yang selalu ia rindukan kehadirannya.

"Bang, jadi orang yang Bang Dirga percaya buat jagain aku adalah Kak Nathan? Tapi kenapa harus dia juga yang buat Abang pergi ninggalin aku? Apa aku masih sanggup lihat wajah Kak Nathan lagi sekarang?" Nindy memeluk foto itu, memandang ke langit-langit rumah dan mengusap air mata yang mulai keluar dari sudut matanya itu.

**

Sementara di sekolah, Yasmine tidak berhenti mengomel dari pagi sampai jam istirahat.

"Kenapa sih tuh anak susah banget dibilangin, gue selalu bilang jangan telat makan, jangan suka tidur malam dan kalau ada apa-apa itu kabarin kita. Nah ini kita malah tau dari Bu Sofiya kalau dia nggak masuk. Awas aja tuh anak!" oceh Yasmine sambil menghabiskan semangkuk  baksonya.

SUNYI DAN RINDU - SELESAI (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang