Bab 19 - Semesta Tengah Bercanda

2.2K 240 10
                                    

Hai...

Tolong ralat ya kalau ada typo :) Makasiii

Happy Reading (⌒o⌒)

"Lari secepat dan sejauh mungkin sampai rasa takut itu hilang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Lari secepat dan sejauh mungkin sampai rasa takut itu hilang."

— Nestapa Hema bab 19 —

Di sebuah ruangan tanpa batas yang serba putih, terlihat Hema yang melangkah linglung sambil celingak-celinguk menatap sekitar. Hawa dingin dan sunyi membuat bulu kuduknya meremang.  Ruangan ini terasa sangat kedap dan pengap. Entah ada dimana Hema sekarang.

Hema terus saja melangkah tanpa arah, dia berusaha untuk mencari ujung dari ruangan ini agar bisa keluar.

Lama ia melangkah menyusuri, hingga pada akhirnya Hema melihat cahaya terang di depan. Sontak sebelah tangannya menghalau cahaya itu dengan mata yang sedikit menyipit.

Cahaya apaan ini ya? Kenapa silau banget?  Hema bertanya dalam hati.

Penasaran dengan sesuatu hal yang ada di balik cahaya, Hema melangkah  mendekati.

Secara perlahan kakinya melewati cahaya dengan mata yang terpejam. Saat dirasa telah menembus cahaya itu, seketika hawa dingin  berubah menjadi hangat.  Secara perlahan Hema membuka matanya.

Hema termengung seketika, dia melongo takjub melihat bingkai-bingkai memori masa kecilnya terpajang di sana layaknya sebuah pameran di galeri. Bahkan terlihat vidio kenangan masa kecil yang terputar di sebelah bingkai.

Matanya mulai memanas, menahan tangis. Secara perlahan dia melangkah mendekati bingkai pertama.

Sorot matanya tertuju kepada bingkai berukuran besar yang menampilkan dirinya bersama sang Kakak di tanah lapang sambil melihat senja.

"Keinginan terbesar lo kalau udah dewasa nanti apa, Bang?"  tanya Hema berusia empat belas tahun.

"Bebas."

Kening Hema mengernyit, bingung.
"Kenapa bebas? Kenapa nggak minta sukses aja biar bisa nikmatin hidup?

Marva tersenyum simpul. Lalu dia merebahkan diri di hamparan rerumputan tanah lapang. Menjadikan tangannya sebagai bantalam epuk.

"Karena sukses aja nggak cukup buat nikmain hidup kalau kita nggak bebas." Hema mengangguk paham.

Seperti terseret ke dunia masa lalu, Hema bisa merasakan hangatnya kenangan itu. Air mata tanpa permisi jatuh meluruh membasahi kulit wajahnya.

Kemudian dia beralih ke bingkai di sebelahnya. Pada bingkai itu terllihat Hema yang tengah bermain layangan di lapangan, dan tidak jauh di belakang Hema ada Marva yang tengah berteriak memanggilnya.

Nestapa Hema  [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang