27

1.9K 251 17
                                    

"Tolong selamatkan anak dan istriku!" Sunghoon menggendong Sunoo dan berseru nyaring saat memasuki rumah sakit.

Beberapa perawat disana mendekat dengan mendorong brankar.

"Nyonya Park?" Seorang dokter menghampiri Sunoo dengan khawatir.

"Siapa anda?" Dokter itu lalu memandang Sunghoon, "Dimana dokter Jay, suaminya?"

Sunghoon balas memandang tak suka pada dokter itu.

"Apa - apaan? Dia istriku!" Ucap Sunghoon sengit.

"Hah?" Sang dokter memiringkan kepalanya tak mengerti.

"Bisakah kau simpan dulu kebingungan mu? Apa kau tak liat keadaan istriku sekarang?"

Dokter itu tersadar, lalu mengamati Sunoo yang meringis kesakitan memegang perutnya.

"Beliau akan melahirkan."

"Bukankah ini bukan waktunya?"

"Kandungan nyonya Park lemah, dan kandungan yang lemah memang bisa menyebabkan kelahiran prematur."

Kekhawatiran di wajah Sunghoon semakin tercetak jelas.

"Kami akan membawanya keruangan bersalin."

Sunghoon hanya mengangguk.

Sunoo sudah terbaring di atas brankar. Saat para suster mulai bergerak mendorong brankar itu, Sunghoon masih setia menggenggam erat tangan Sunoo.

Beberapa kata penenang dia ucapkan ditelinga Sunoo. Wajahnya pucat, air mata dan keringat terus keluar.

"... Sunghoon... Aku.. maafkan aku.."

"Tidak.. akulah yang harus mengatakan itu, Sunoo."

"Ji-jika... Jika akuu.. tak bisa bertahan.. tolong jaga anak kita."

Sunghoon menggeleng gaduh, air matanya juga jatuh mengenai wajah pucat Sunoo. Hanya butuh beberapa detik untuk terjun dalam arus tangisan dan kepedihan.

Kekhawatiran dan ketakutan bercampur menjadi satu.

Dan apa itu... Anak kita? Apa Sunoo baru saja mengakui bahwa itu anak mereka?

Perasaan Sunghoon membuncah, setelah sekian lama Sunoo menepis dan tak mau mengakuinya, Akhirnya saat ini Sunoo menyebut anak itu sebagai anak mereka.

"Kita akan menjaganya bersama. Kau harus bertahan, Sunoo."

Sunghoon semakin merunduk kala tangan Sunoo berusaha menggapai wajahnya. Sebelah tangan Sunghoon bertumpu pada tangan Sunoo yang kini berada di pipinya.

"Meski terlambat.. aku tetap ingin kamu tau... a-aku... Aku mencintaimu juga, Sunghoon..."

Tautan tangan mereka terpisah saat Sunoo memasuki ruangannya, sementara Sunghoon di tahan diluar oleh beberapa Suster.

"Biarkan aku masuk."

"Maaf tuan, kami akan melakukan operasi, jadi anda tidak bisa masuk."

Sunghoon belum sempat mengeluarkan protesnya lagi saat suster itu memasuki ruangan dan menutup pintu rapat.

Persendian kakinya lemas, tubuhnya merosot kebawah.

Ini terlalu tiba - tiba. Beberapa waktu lalu, Sunghoon masih bisa melihat Sunoo yang berjalan dengan sehat di samping Jay saat memasuki restoran tempat mereka bertemu sebelumnya.

Namun sekarang, Sunghoon justru harus menunggu Sunoo berjuang untuk hidupnya dan anaknya.

Senyuman hangat di wajah pucat Sunoo menjadi hal yang terakhir Sunghoon lihat dari kekasihnya sebelum memasuki ruangan itu.

Sama halnya dengan Sunghoon,
Air mata Sunoo pun terus mengalir layaknya aliran sungai yang tak pasti di mana letak ujungnya. Menciptakan segala kegelapan dan kesenduan hati.

Dulu Sunoo selalu berharap untuk mati dan menghilang dari dunia. Tapi kenapa saat harapan itu kini seolah ada di depan matanya, Sunoo menjadi takut.

Jika dia mati sekarang, rasanya Sunoo akan mati dengan membawa penyesalan.

Jika boleh, dia tak ingin mati sekarang. Sunoo ingin melihat anaknya, Sunoo ingin memberinya nama, ingin merawatnya...

Dan Sunoo juga ingin mengatakan perasaannya pada Sunghoon dengan cara yang lebih baik, tidak terburu - buru seperti tadi. Sunoo ingin mengungkapkan semuanya. Tentang betapa cintanya dia pada bajingan itu.

Bayangan Sunghoon seolah melekat pasti di dalam jiwa dan raganya. Sampai di bawah batas kesadarannya pun, Sunoo tak mampu sama sekali untuk melupakannya.

Sunghoon, meski dengan segala keangkuhan dan kesombongan yang di milikinya, telah berhasil membuat Sunoo jatuh cinta.

>

>

>

"William sudah tiada."

Sabtu malam membawa secangkir racun di hati Jungwon, membuatnya lumpuh tak berdaya.

Awalnya Jungwon sudah cukup bahagia karena bisa membujuk Jay untuk datang menemui William, anaknya.

Namun saat tiba di rumah sakit tempat William dirawat sejak beberapa bulan lalu akibat penyakit yang di deritanya, Dokter yang merawatnya mengatakan hal yang paling ditakuti Jungwon. Mengahancurkan semangat hidupnya, mematahkan sayapnya, dan membuat Jungwon trauma kembali.

Saat memasuki ruangan putih itu, kakinya seolah terpasung dilantai.

Dengan tangan gemetar, Jungwon menyeka air matanya. Segala sesuatu yang dia lihat di sekelilingnya mendadak kuning.

Jungwon melabuhkan pandangannya pada sosok bocah Lima tahun yang kini terbaring tak bernyawa.

Jiwa Jungwon seakan menungkik ke inti bumi. Mengikat rontaan batin. Tangisnya semakin menjadi. Tubuhnya pun hampir terjatuh jika tak di tahan oleh seseorang yang sejak tadi hanya mematung.

Jungwon berbalik, mendongak menatap lelaki yang baru saja menopang tubuhnya.

"Kau terlambat Jay... " Jungwon tercekat dengan hentakan bengis didadanya.

Sementara Jay hanya memandang lurus pada raga yang tak bernyawa itu.

Kakinya bergerak mendekati ranjang tanpa disadari.

Jay meremat kuat dadanya sendiri.

Kenapa sakit sekali? Kenapa rasanya begitu sesak?

Jungwon merogoh tasnya dan mengeluarkan secarik kertas yang terlipat disana.

"Dia memintaku untuk memberimu ini." Jungwon menyerahkan kertas itu pada Jay, membiarkan lelaki itu membacanya.

Jay membuka kertas itu dengan ragu dan gemetar. Perlahan matanya menelusuri setiap kata yang ditulis dengan cara yang sedikit berantakan itu.

_ Ayah, aku berharap surat ini tersampaikan padamu. Tak banyak kata yang kutulis disini. Aku menulis hal sama seperti yang sering aku tanyakan pada ibu. Masih sama, masih tentang kebingunganku perihal keberadaanmu. Aku sudah menanyakan ini pada ibu, tapi dia hanya menjawab bahwa kau sibuk. Saat teman di sekolah ku menceritakan keseharian dan kehebatan ayahnya, aku menjadi sedikit iri. Aku juga ingin tau sehebat apa ayahku, jadi aku juga selalu menanyakan ini pada ibu, namun jawaban ibu lagi - lagi tak membuat ku puas. Dia hanya berkata, "Ayahmu orang yang hebat William, dia selalu berusaha keras agar dia bisa menjadi dokter." Aku ingin mendengar cerita tentang mu dari dirimu sendiri. Aku ingin bermain dan bercerita banyak hal denganmu Ayah. Tapi mengapa hingga saat ini, aku masih tak bisa bertemu dengan mu? Benak ku selalu bertanya-tanya, apakah aku sungguh mempunyai seorang ayah? Jika kau memang ada, lalu dimana?_

Jay meremas kertas di tangannya. Kertas itu sudah basah oleh air mata. Lidahnya kelu untuk beberapa saat ketika bayangan anaknya yang sekarat tanpa dia disisinya terbesit. Bocah Lima tahun itu mengalami sakit fisik dan hati di waktu yang bersamaan. Bocah itu selalu mengharapkan dan menantinya datang untuk sekedar merengkuhnya. Jungwon dan anaknya sudah melewati hidup yang begitu sulit disaat Jay justru menikmati hidup dengan penuh kenyamanan tanpa beban pikiran apapun. Tanpa memperdulikan seorang bocah yang selama ini menunggu untuk bisa bertemu dengannya

Pada titik ini, Jay sadar bahwa dia adalah mahluk terkejam dimuka bumi.

Brother_in_Law (Sungsun)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang