Weekend yang menyenangkan. Masita fokus menatap layar televisi yang menampilkan kartun animasi dengan tokoh utama dua bocah botak. Sesekali tangannya menyuapi dirinya sendiri dengan roti kering rasa kelapa. Di depannya juga sudah tersedia teh tawar yang masih panas sebagai teman makan roti kelapa itu. Di usianya yang ke dua puluh tujuh tahun, Masita masih saja menyukai tontonan kartun atau animasi. Menurutnya, kartun atau animasi dapat ditonton segala usia dan sama sekali tidak membosankan. Apalagi kartun atau animasi mengandung pesan baik yang ditujukan untuk anak-anak--mungkin sekarang berguna juga untuk orang-orang berumur yang tak mengerti adab. Selain itu, Masita gemar nonton kartun karena tidak mau menonton sinetron. Menurutnya kebanyakan alur sinetron di televisi seperti judul lagu Armada--mau dibawa kemana.
Pintu rumah terbuka menampilkan Iis--Emak Masita--dengan wajah bersungut-sungut. Wanita paruh baya yang masih terlihat bugar itu meletakkan beberapa sayuran dan ikan hasil belanjaannya ke meja, kemudian meraih teh Masita dan langsung meminumnya.
Masita melongo, kemudian menggelengkan kepalanya takjub. Padahal tehnya masih panas, kenapa mulut Emak tidak terbakar? batinnya.
Aduh ... Masita kok jadi ingat Pak Satya, sih.
"Kenapa sih, Mak? Pulang-pulang kok cemberut gitu? enggak boleh nge-bon sama Mang Jali?"
"Enak aja. Emak mana pernah nge-bon." Iis menyerongkan tubuhnya menghadap putri semata wayangnya. "Kamu beneran enggak punya calon suami?" todongnya langsung.
Masita mendesah. "Ya elah, Mak. Pacar aja kaga punya, apalagi calon suami."
Iis mendesah sedih. Masita yang melihat itu merasa tak enak hati. Bagaimanapun juga, Masita sangat menyayangi Emak dan tak ingin Emak sedih. "Tapi tenang aja, Mak. Sita udah punya gebetan. Ganteng, kaya, gak suka main wanita. Pokoknya bibit, bebet, bobotnya aman semua."
Mendengar perkataan Masita, Iis merasa harapannya kembali muncul. Mengingat tetangganya mengejek putrinya perawan tua, membuatnya sedih. Sebagai seorang ibu tentunya, ia tak mau putrinya dihina-hina. Ia saja yang melahirkan dan merawat sampai dewasa, tidak pernah menghina putrinya. Mengapa orang lain seenaknya saja berkata jelek ke putrinya?
"Dia siapa? belum punya istri, kan? Emak enggak ridho ya kalau kamu jadi pelakor," ujar Iis dengan penuh penekanan.
"Tenang, Mak. Ini tuh bos Sita di tempat kerja. Dia masih lajang, kok." Iis mengangguk-anggukan kepalanya. "Lagian Emak kenapa tiba-tiba nanya gitu? Kemarin gara-gara Selina mau nikah. Sekarang karena apa? Siti mau kawin?"
"Ck ... itu tuh. Tetangga-tetangga pada bilang kamu perawan tua. Emak marah dong."
Masita mendesah. Ia mengerti perasaan ibunya. Hidup bertetangga dengan orang-orang yang ramah bisa juga memberikan pengaruh negatif. Mereka terlalu banyak mencampuri urusan orang lain. Tapi apa boleh buat. Saling mengejek dan membicarakan aib orang seakan sudah menjadi hiburan yang normal dan Masita tidak bisa mengontrol hal itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Find A Husband (END)
ChickLit"Kenapa sih, Mak? Pulang-pulang kok cemberut gitu? enggak boleh ngebon lagi sama Mang Jali?" "Enak aja. Emak mana pernah ngebon." Iis menyerongkan tubuhnya menghadap putri semata wayangnya. "Kamu beneran enggak punya calon suami?" todongnya langsun...